Ibu muda itu terpuruk sekali lagi dalam permasalahan hidup yang berat baginya. Belakangan ia baru tahu ternyata sang suami yang dicintainya memiliki wanita lain yang sebentar lagi akan menggantikan posisinya. Ia berusaha tetap tegar dan menerima kenyataan bahwa sang suami akan segera menceraikan dirinya.
Menjadi menantu dari keluarga yang hanya
memiliki seorang anak tunggal bukan masalah mudah baginya. Bahkan tak
terlintas olehnya sebelumnya bahwa ia akan senantiasa diingatkan untuk
bisa memberi keturunan yang kini menjadi kesulitan tersendiri dan
mustahil baginya. Bagaimana mungkin ia akan memberikan keturunan dan
melahirkan anak dari rahimnya sementara rahimnya telah diangkat?.
Ia menjalani pengangkatan rahim tiga
tahun lalu karena tumor jinak yang terus menerus menyebabkan perdarahan
yang mengancam nyawanya. Tak ada jalan lain akhirnya ia harus menjalani
histerektomi (pengangkatan rahim). Nyawanya terselamatkan namun justru
inilah yang kemudian menjadi permasalahan baru bagi kehidupan rumah
tangganya.
Keluarga seolah menganggapnya perempuan
cacat atau mungkin bukan lagi perempuan karena tak bisa lagi memberi
keturunan. Kenyataan itu tak bisa disangkal olehnya.
Menghadapi keluarga suami adalah
ketakutan tersendiri yang sulit terlukiskan untuk dirasakan siapapun. Ia
tidak menyalahkan suaminya yang kemudian menceraikannya. Ia tahu ia tak
boleh menyalahkan siapapun. Tak ada yang pantas untuk disalahkan.
Dengan sisa kekuatan ia melangkah pulang
pada orang tuanya dan juga saudara kandungnya yang masih siap
menampungnya. Kepahitan itu ia kubur amat dalam, dan ia pun memulai
menata hidup barunya tanpa ingin lagi mengenal yang namanya laki-laki.
Ia tidak lagi tertarik pada pandangan laki-laki yang ditujukan untuk
dirinya. Yang terlintas adalah bahwa tak akan ada seorangpun dari
laki-laki itu yang akan mau menerimanya seandainya mereka tahu bahwa ia
adalah perempuan cacat tanpa rahim.
Namun ia menyadari hidup ini harus terus
dilalui apapun pergumulan hidupnya, akhirnya ia memilih bekerja di
sebuah tempat penitipan anak, karena ia berpikir anak-anak yang polos
dan lucu-lucu itu akan membuat semangatnya hidup kembali. Benar saja ia
mendapat kekuatan baru ketika anak-anak itu memanggilnya ibu.
Dengan sisa tabungannya dan juga bantuan
dari keluarga dan orang-orang yang peduli kemudian ia mendirikan sebuah
panti asuhan, di sana ia menampung banyak anak-anak yang bernasib
kurang beruntung dan ia menikmati setiap sapaan ibu yang ditujukan
padanya. Di matanya tetap terpancar kebahagiaan seorang ibu apalagi
ketika ia mendengar celoteh menggemaskan dari mulut anak-anak tanpa dosa
itu.
Hari ini ia telah tersenyum lega saat
memikirkan bahwa ia yang merasa sebagai perempuan cacat tanpa rahim
diberi anugrah untuk merasakan menjadi seorang ibu dengan perasaan
tanpa cacat bagi anak-anak itu.
Jika ada diantara kita yang memiliki
permasalahan hampir sama, atau pernah menjalani seperti yang dialami
ibu ini…maka tegarlah meskipun itu menjadi kanyataan pahit yang sulit
diterima. Cobalah bangkit, belajar seperti ibu ini.
Dalam setiap kekurangan akan tersimpan satu kelebihan dan kekuatan,
jika tetap sulit maka mari direnungkan kembali andai keadaan yang
memaksanya harus menjalani pengangkatan rahim tidak diatasi mungkin
nyawanya sudah tidak tertolong. Bersyukur masih bisa selamat meskipun
akhirnya harus hidup tanpa rahim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar