Translate

Jumat, 24 April 2015

Perempuan Tanpa Rahim



Ibu muda itu terpuruk sekali lagi dalam permasalahan hidup yang berat baginya. Belakangan ia baru tahu ternyata sang suami yang dicintainya memiliki wanita lain yang sebentar lagi akan menggantikan posisinya. Ia berusaha tetap tegar dan menerima kenyataan bahwa sang suami akan segera menceraikan dirinya.
Menjadi menantu dari keluarga yang hanya memiliki seorang anak tunggal bukan masalah mudah baginya. Bahkan tak terlintas olehnya sebelumnya bahwa ia akan senantiasa diingatkan untuk bisa memberi keturunan yang kini menjadi kesulitan tersendiri dan mustahil baginya. Bagaimana mungkin ia akan memberikan keturunan dan melahirkan anak dari rahimnya sementara rahimnya telah diangkat?.
Ia menjalani pengangkatan rahim tiga tahun lalu karena tumor jinak yang terus menerus menyebabkan perdarahan yang mengancam nyawanya. Tak ada jalan lain akhirnya ia harus menjalani histerektomi (pengangkatan rahim). Nyawanya terselamatkan namun justru inilah yang kemudian menjadi permasalahan baru bagi kehidupan rumah tangganya.
Keluarga seolah menganggapnya perempuan cacat atau mungkin bukan lagi perempuan karena tak bisa lagi memberi keturunan. Kenyataan itu tak bisa disangkal olehnya.
Menghadapi keluarga suami adalah ketakutan tersendiri yang sulit terlukiskan untuk dirasakan siapapun. Ia tidak menyalahkan suaminya yang kemudian menceraikannya. Ia tahu ia tak boleh menyalahkan siapapun. Tak ada yang pantas untuk disalahkan.
Dengan sisa kekuatan ia melangkah pulang pada orang tuanya dan juga saudara kandungnya yang masih siap menampungnya. Kepahitan itu ia kubur amat dalam, dan ia pun memulai menata hidup barunya tanpa ingin lagi mengenal yang namanya laki-laki. Ia tidak lagi tertarik pada pandangan laki-laki yang ditujukan untuk dirinya. Yang terlintas adalah bahwa tak akan ada seorangpun dari laki-laki itu yang akan mau menerimanya seandainya mereka tahu bahwa  ia adalah perempuan cacat tanpa rahim.
Namun ia menyadari hidup ini harus terus dilalui apapun pergumulan hidupnya, akhirnya ia memilih bekerja di sebuah tempat penitipan anak, karena ia berpikir anak-anak yang polos dan lucu-lucu itu akan membuat semangatnya hidup kembali. Benar saja ia mendapat kekuatan baru ketika anak-anak itu memanggilnya ibu.
Dengan sisa tabungannya dan juga bantuan dari keluarga dan orang-orang yang peduli kemudian ia mendirikan sebuah panti asuhan, di sana ia menampung banyak anak-anak yang bernasib kurang beruntung dan ia menikmati setiap sapaan ibu yang ditujukan padanya. Di matanya tetap terpancar kebahagiaan seorang ibu apalagi ketika ia mendengar celoteh menggemaskan dari mulut anak-anak tanpa dosa itu.
Hari ini ia telah tersenyum lega saat memikirkan bahwa ia yang merasa sebagai perempuan cacat tanpa rahim diberi anugrah untuk merasakan menjadi seorang ibu dengan perasaan  tanpa cacat bagi anak-anak itu.
Jika ada diantara kita yang memiliki permasalahan hampir sama, atau pernah menjalani seperti yang dialami ibu ini…maka tegarlah meskipun itu menjadi kanyataan pahit yang sulit diterima. Cobalah bangkit, belajar seperti ibu ini. 
Dalam setiap kekurangan akan tersimpan satu kelebihan dan kekuatan, jika tetap sulit maka mari direnungkan kembali andai keadaan yang memaksanya harus menjalani pengangkatan rahim tidak diatasi mungkin nyawanya sudah tidak tertolong. Bersyukur masih bisa selamat meskipun akhirnya harus hidup tanpa rahim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar