Translate

Selasa, 21 April 2015

Mendikte Tuhan



Seorang wanita berjalan perlahan menyusuri kumuhnya rumah susun di salah satu sudut kota Jakarta. Dengan paras ayu dan aurat yang tertutup itu ia menawan setiap mata disekelilingnya. Lirih pujian akan keindahan parasnya samar terdengar di antara mereka yang melihatnya berjalan.

"Eh, nak Hafsah." Tegur seorang ibu takjub ketika wanita bernama Hafsah itu berhenti di depan salah satu pintu rumah susun. Hafsah tersenyum mengembang. "Ada apa nak, kok main ke tempat kumuh seperti ini?" Tanya ibu itu. "Hehehe, iya ibu. Hafsah hanya ingin bertemu dengan Ilham, ada keperluan penting bu. Hmm Ilhamnya ada ibu?" Jawab Hafsah sambil tersenyum seraya melontarkan pertanyaan.

"Ilham, Ilhamnya lagii... hmm anuu.." Kata ibu itu terbata.
******
Redup cahaya matahari menyelimuti sebagian belahan bumi. Termasuk di langit rusun itu. Corak hitam awan yang terlihat pudar itu menjadi pemandangan tak bersahabat. Angin berhembus cukup kencang, menyapa debu hingga berterbangan ke segala arah. Para penghuni rusun yang sedang menjemur pakaian pun segera mengangkat jemurannya. Di ruang kecil tempat singgah tetamu itu, Hafsah duduk bersama ibu dari pemuda bernama Ilham.

"Jadi, begitulah Ilham yang sekarang nak Hafsah. Ibu sendiri tidak habis fikir!" Ungkap ibu itu menampakkan keheranan dan rasa sedih yang menjadi satu. Hafsah pun tak percaya bahwa Ilham, pemuda berusia 24 tahun itu kini berubah 180°dari sebelumnya. Hafsah menatap iba pada ibu itu. Mencoba menyemangatinya. Bahwa setiap perubahan manusia pasti ada hikmah yang terkandung. Dan nantinya pasti akan diketahui hikmahnya cepat atau lambat. Ibu harus sabar ya, Hafsah menenangkan. "Insya Allah nak Hafsah, terima kasih ya nak, sudah buat ibu sedikit tenang." Jawab sang ibu seraya menyimpulkan senyum di atas rasa sedih yang dirasakannya. "Assalamu'alaikum...!" Salam pamit Hafsah seraya menelungkupkan kedua tangannya di depan dadanya. "Wa'alaikumsalam..."

Angin masih agak kencang bertiup. Di belahan bumi dengan langit berbeda, Ilham tengah duduk terdiam di sudut warung klontong pinggir jalan. Adzan Dzuhur memanggil merdu terdengar cukup kencang, Masjid memang tak jauh dari tempat Ilham terduduk.

"Ham, mari kita shalat bersama?" Ajak pak Yusuf penjaga warung. "Tidak pak, terima kasih!" Jawab Ilham ketus. "Lho, kamu kenapa Ham? Bukankah biasanya kamu paling semangat shalatnya." Tanya pak Yusuf heran. "Ya untuk apa saya capai-capai shalat, tapi keadaan tidak berubah sama sekali! Do'a, usaha dan semua sudah saya lakukan tapi apa pak!?Apa yang Allah kasih untuk saya!? Tidak ada pak! Hanya kesengsaraan hidup yang takberujung yang saya dapat!!" Jawab Ilham dengan amarah meluap.

"Astaghfirullahaladziiimm...!! Ilham, Allah tidak pernah ingkar atas janjinya kepada seluruh makhluknya! Sejak zaman Nabi Adam sampai sekarang! Apa yang merasuki pikiran kamu sampai kamu seperti ini Ilham!!?" "Kalau bapak ingin shalat ya sudah sana shalat. Jangan ajak saya! Sayasudah malas!" Tukas Ilham yang masih diliputi amarah. "Astaghfirullahaladziim, semoga Allah membimbingmu kembali ke jalan-Nya." Istighfar pak Yusuf seraya melangkah melanjutkan niatnya untuk shalat dzuhur.

Hafsah menghadap Tuhannya dengan khusyuk. Panjat do'anya tercurah beriring derai air mata membanjir. Memohon ampunan atas segala dosa yang dilakukan. Sementara Ilham hanya lontang-lantung tanpa arah, Melangkah tanpa tujuan. Dalam usai sujudnya menghadap ilah, terbersit gambar Ilham yang dulu di dalam benaknya. Ilham yang dulu sangat rajin shalat, Ilham yang dulu senantiasa mengajaknya pada kebaikan, Ilham yang dulu memiliki spirit untuk terus melaksanakan perintah Tuhannya. Kini ia berbalik, seperti yang diungkapkan oleh ibu Nilam di rusun itu. Hanya karena kesulitan hidup di dunia Ilham berburuk sangka kepada Tuhannya, Allah yang Maha Esa. Tak bertemu tiga bulan dengan Ilham, Hafsah melihat perbedaan drastis pada diri Ilham. Gadis itu ingin mengembalikan Ilham seperti dulu lagi. "Harus", gumamnya.

Setahun berganti,
Musim mengelupas seperti titah Tuhan. Cuaca kurang bersahabat bagi Hafsah. Petir yang menyambar dan gelap yang memayungi membuat Hafsah mempercepat langkahnya pulang. "Alhamdulillah" ucapnya sesampainya di depan pintu rumahnya. Ia segera membuka pintu. Masuk dan membuat secangkir teh hangat serta membawa sepiring kue kering untuk ngemil. Kebiasaan Hafsah. Apalagi hujan kian mendramatisir tubuhnya yang jatuh semakin deras.

Ilham yang kini hanya bisa berdiam diri, hancur sudah akidahnya. Luluh-lantak keyakinan dan ketaatan yang dulu membuat Hafsah jatuh hati. Meski kini masih ada. Namun awal jatuhnya hati wanita shalihah itu adalah Ilham yang dulu ketika menjadi pemuda shalih nan gagah.

Di waktu serupa. Di bawah langit Ilham berada. Ia mencaci dan memaki dengan kasar atas kehendak Allah, "Engkau tidak adil!" Tukasnya kasar di sebuah lapangan tanah merah yang tengah di siram hujan deras. Kilat berkelebat. Gemuruh petir yag menggetarkan orang-orang yang mendengarnya. Namun tidak bagi Ilham yang sedang kalap. "Engkau bukan Tuhan! Engkau tidak mengabulkan permohonan hambamu yang taat. Apa kau hanya bisa berjanji dan berjanji?" Diktenya. "Wahai Tuhan. Allah yang katanya penguasa! Tuhan semesta Alam! Apa engkau tak mampu memberikan permintaanku!? Yang orang-orang selalu berkata, engkau bisa penuhi dan melakukan segala sesuatu hanya dengan KUNFAYA KUN! Engkau tak lebih dari pendusta seperti para bandit-bandit bengis di dunia ini. Atau Tuhan hanyalah ciptaan dan angan-angan manusia, seperti yang dikatakan oleh Ludwig Feuerbach sang Atheis!?" Umpatnya memecah hujan. Membuat langit seolah murka. Petir menyambar-nyambar. Langit semakin gelap.

"Astaghfirullahaladzim...!! Apa yang terjadi pada Ilham? Tanya Haikal. lelaki paruh baya berpayung yang melintas. Ia tetangga dekat Ilham dan cukup dekat dengan bu Nilam, Ibu Ilham. Haikal segera memberitahu bu Nilam. Naluri seorang ibu menjalar dalam jiwa ibu Nilam. Di bawah hujan yang belum reda itu ia menjemput Ilham. Anak satu-satunya. Dengan sekuat tenaga dan kasih sayangnya lewat tangis yang meleleh di sudut pelupuk matanya. Akhirnya Ilham menurutinya untuk kembali ke rumah. Lima hari tak pulang, Ilham menjadi semakin terpuruk dalam kesesatan nyata. Sang ibu mengkhawatirkan anaknya yang tak kunjung kembali, akhirnya ia memboyongnya kembali. Setelah keadaan mental Ilham kian membaik. Segala wejangan dan nasihat pun di lancarkan bu Nilam. Ia menjelaskan bahwa segala sesuatu yang menimpa makhluk taklain hanya sebagai bentuk uji, coba, atau teguran bahkan bisa jadi itu adalah azab. Dan dengan itu semua bukan untuk menjadikkan kita berprasangka buruk pada Tuhan. Allah SWT. Namun justru harus mengingat apa yang selama ini kita kerjakan.

"Kita memang miskin dan tidak bermateri sama sekali Ilham! Tapi jangan membuat kita menjadi hamba yang dimurkai Allah! Kefakiran ini, sudah diatur oleh Allah. Karena Allah lebih tahu kapasitas iman hambanya ketimbang diri kita sendiri. Kefakiran ini jangan sampai menjadikanmu kafir Ilham..!!" Tegas bu Nilam kemudian menangis terisak melihat anak tunggalnya itu. Biar bagaimanapun Ilham adalah sosok yang menghormati ibunya. Ibunyalah yang merawatnya sejak dalam kandungan. Beliau sangat mencintai Ilham dengan segenap jiwa raga. Walaupun suaminya berkhianat padanya dengan meninggalkannya bersama selingkuhan sang suami ke Lampung. Hingga Ilham sama sekali tak pernah merasakan kasih sayang seorang ayah. Namun kasih sayang beliau pada Ilham kecil sangat bulat. Ia menjaganya dari apapun yang mengancam anaknya. Dengan semua itu Ilham tak pernah membuat ibunya menangis. Ini pertama kalinya Ilham membuat ibunya mengaliri airmata. Ia menatap iba ibunya. "Apa yang aku lakukan pada ibu?"

Batinnya.
"Tidakkah kau sadari Ham, Tuhan tidak pernah ingkar janji. Semua do'a dan permohonan hambanya akan diberikan. Dan semua bergantung pada keyakinanmu atas panjat do'a yang kau ucap dan kau harapkan untuk terkabul." Jelas bu Nilam dengan suara paraunya karena banyak menangis. "Kau harus segera sadar anakku!" Tambahnya seraya meninggalkan anak tunggalnya itu.
******
___________________________________________________________________________
Senja telah lama lindap dalam pelukan malam. Peran sang mentari telah digantikan oleh gemerlap bintang yang memenuhi angkasa. Meskipun tanpa kehadiran sang bulan namun malam itu seolah menjadi titik balik bagi Ilham akan keyakinanya pada Tuhan yang telah terkoyak.

Ibukota memang menghadirkan pesona keindahan dan kemegahan bagi banyak orang tetapi dibalik itu semua ada potret miris dan menyedihkan tentang kesenjangan kehidupan. Salah satu pemicu dari rentetan peristiwa pilu yang membuat Ilham dekat dengan kekufuran Sehingga akhirnya keyakinanya goyah dan mendikte eksistensi keberadaan Tuhan dengan segala sifat-sifat-Nya.

Kekumuhan rusun itu seperti lukisan permanen yang tidak akan pernah berubah. Para tetangga kian menatap Ilham dengan tatapan miris. Seolah-olah mereka sedang melihat bangkai busuk yang dilemparkan ke sungai penuh sesampah. Kemalangan Ilham kian menjadi. Nasihat sang ibu tak kunjung meresap di hatinya. Wejangan yang diberikan tak meredam sedikitpun perasaan murkanya pada Tuhan semesta alam. Ilham terus mengatakan bahwa Tuhan hanya tokoh fiktif yang dibuat manusia sebagai wadah untuk berimaji.

"Dasar orang-orang bodoh." Umpatnya setiap kali melihat orang-orang shalat. Ataupun orang-orang yang beribadah. Ilham terperosok jauh dalam kesesatan. Ia telah terikat pada satu paham yang disebut Atheis. Yaitu paham yang secara garis besar ialah paham yang tidak mengakui adanya Tuhan.

"Allahu Akbar. Itu adalah suatu petaka besar. Bahkan lebih besar daripada sebuah planet jupiter. Bahkan jauh lebih besar lagi! Akal pikiran manusia yang telah dirasuki setan durjana dan tidak mau mengakui keberadaan Tuhan maka ia telah menjadi atheis. Bagaimana mungkin kita mengingkari akan keberadaan Tuhan sedangkan kita sendiri ada dan hidup di dunia ini tidak dengan sendirinya melainkan ada karena memang diciptakan ?"

Entah kenapa Ilham terhenti sejenak. Ada sebuah magnet yang seolah menarik hatinya untuk mendengarkan ceramah keagamaan yang memang rutin diadakan di masjid yang tak jauh dari tempat tinggalnya. Ah dulu sebelum keyakinanya goyah ia rajin menghadiri pengajian di masjid jami' itu.

Hatinya masih beku. Ilham membuat penyangkalan dalam hatinya. Aku ada di dunia ini karena dilahirkan oleh ibuku, bukan diciptakan oleh Tuhan.

Seolah bersambung dengan pernyangkalan Ilham dalam hatinya, dan hal itu seharusnya menjadi jawaban mutlak yang tak terbantahkan bagi penyangkalan Iham. Ustadz yang tengah memberikan tausyiah di depan para jamaah itu kembali melanjutkan, "Naudzubillah min dzalik ! Jika kita berpikir kita ini ada di dunia ini ada dengan sendirinya, tidak diciptakan Tuhan. Memang benar kita ada setelah dilahirkan oleh orang tua kita, Orang tua kita dilahirkan karena adanya kakek nenek kita dan seterusnya, dan seterusnya sampai ke manusia pertama yang hadir di muka bumi yakni Nabiyullah Adam 'Alaihis Salam.....apa mungkin manusia pertama ada dengan sendirinya? Jika tidak ada yang menciptakan?"

Berkelebat dalam benak Ilham teori Darwinisme yang di dapatnya waktu di bangku sekolah mencoba mendukung akidahnya yang telah tersesat. Manusia sebagai bentuk evolusi dari seekor kera? Nuraninya menolak. Ia lebih meyakini Al-Quran sebagai dalil kuat bahwa manusia pertama diciptakan dari tanah. Ah nurani kecil di hatinya yang selama ini ia bunuh ternyata berkata lain. Menolak tegas pernyataanya yang mencoba mendikte eksistensi tuhan.

Ilham berlalu dengan gundah. Keyakinanya yang sempat tersesat jauh mulai menemukan jalan kembali kepada kebenaran manakala ia terngiang-ngiang perkataan ustadz yang memberikan tausyiah di masjid tadi.
"Jika demikian Barang siapa yang tidak bertobat dari ke atheisanya maka adzab Tuhan teramat pedih dan nerakalah tempatnya kembali. Berapa lama kita hidup di dunia? Hanya sebentar. Alangkah bodoh dan celakanya manusia yang tak mau beriman sedangkan semua yang hidup di dunia ini pasti mati. Apa mereka pikir orang yang mati itu bisa kembali hidup di dunia ini lagi? Apa mereka pikir orang yang mati itu tak akan dimintai pertanggungan jawan atas segala perbuatanya di dunia? Perbuatan baik pasti mendapat balasan berupa pahala yang banyak disisi Tuhan-Nya dan bukankah cukup adil jika Tuhan memberi balasan setimpal atas tiap perbuatan dosa atau kejahatan yang dilakukan oleh manusia?"

Pemuda itu melangkah dengan gontai. Menyandarkan diri pada tembok yang kumuh. Air mata mengalir dari sudut matanya. Hatinya kelu. Pikiranya menatap kosong ke arah langit malam yang bertabur bintang. Nestapanya kian hebat membelenggunya. Bayangan sang ibu yang selama ini tegar dengan lilitan penderitaan dan kemiskinan berkelebat. Bagaimana mungkin ia tega telah melukai perasaan seseorang yang telah melahirkanya ke dunia. Merawat dan membesarkanya dengan penuh kasih sayang. Air matanya membanjir semakin deras.

Kerlip cahaya bintang nun jauh di atas sana di atas tempat Ilham terpekur duduk termangu seorang diri seolah tersenyum. Bintang, bulan, ribuan galaksi-galaksi dan seluruh semesta alam tunduk dan taat pada Tuhan Sang Pencipta. Bertasbih memuji-Nya. Bagaimana mungkin manusia yang bak debu di luasnya jagad raya bisa berlaku congkak dan sombong tak mau menyembah Dzat yang telah menciptakanya. Bahkan banyak yang menyekutukan dan tak mau mengakui keberadaan-Nya. Termasuk dirinya. Air matanya kian membanjir.

Ceramah seorang ustad yang tak sengaja didengar oleh Ilham ketika melewati sebuah masjid ternyata belum mampu mengembalikan kesesatanya ke jalan yang benar. Namun telah membuat lubang kecil di hati Ilham. Dan atas kehendak Allah pemuda yang tersesat itu kembali ke jalan yang benar. Sementara sang ibu hanya memandang dengan nestapa terhadap anak semata wayangnya. Doa dan air mata mengalir sepanjang waktu memohonkan ampun dan hidayah untuk Ilham.

Hafsah pun serupa. Ia merasakan apa yang dirasakan bu Nilam. Hafsah pun telah mencoba dengan semampunya untuk mengembalikan Ilham. Mengembalikannya pada jalan lurus sang Ilahi. Tuhan yang satu. Allah yang Maha Besar. Allah yang Maha Kuasa diatas kuasa. Allahlah kebenaran postulat.
****

Teriknya sinar sang mentari menyengat kota Jakarta.
Berulang kali Ilham menyeka peluh yang membanjiri wajah dan sekujur tubuhnya dengan handuk kecil yang senantiasa terlilit di lehernya. Hidup adalah sebuah perjuangan. Getirnya kehidupan telah ia rasakan sejak kecil. Dengan hanya bermodal ijasah SMA sulit baginya mendapatkan pekerjaan yang layak di kota sekelas Jakarta, Kota Metropolitan. Bermacam-macam profesi ia jalani. Mulai dari buruh pabrik, loper koran, tukang bangunan, juru parkir, kernet sebuah bus Metromini. Namun pekerjaan itu tak membawanya pada kenyamanan hidup yang diimpikanya. Sejak keyakinan dan akidah agamanya runtuh maka iri dan dengki seolah bersorak riang di dalam hatinya. Rumah megah, kendaraan mewah, dan setumpuk keinginan materi yang selalu menari-nari dalam benaknya. Apabila ia melihat rumah-rumah megah di komplek perumahan yang selalu disambanginya saat berjualan bakso. Hatinya iri. Juga ketika menyaksikan hilir mudik kendaraan-kendaraan mewah yang lalu lalang di jalanan di depan tempat ia biasa mangkal menjajakan dganganya, Bakso Malang. Bagaikan bumi dan langit jika ia membandingkan dengan nasibnya sekarang.

Datangnya hidayah adalah kehendak Allah Azza Wa Jalla. Tuhan pemilik alam semesta sebagai salah satu anugerah dan rahmat bagi si penerimanya. Sifatnya yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang tak luput menyertai orang-orang yang tulis beriman dan bertakwa kepada-Nya. Adalah Bu Nilam dan Hafsah yang tiap waktu tak lekang berdoa memohonkan hidayah dan ampunan untuk Ilham. Hidayah datang dengan berbagai macam cara. Pertemuanya dengan Pak Rahmad siang itu seolah membuka mata hati Ilham yang telah lama tertutup.

Seorang lelaki tua yang hanya mempunyai satu kaki berjalan tertatih dengan bantuan kurk atau tongkat penyangga. Dipundaknya tersampir peralatan sol sepatu keliling. Ilham masygul menatap bapak-bapak itu. Nampak kelelahan dan kehausan. Dibantunya bapak-bapak itu duduk di kursi kayu tempat biasa para pembeli duduk menikmati bakso Malang buatanya.

“Subhanallah, terima kasih nak atas kebaikan nak Ilham memberi bapak semangkok bakso. Semoga Allah membalas kebaikanmu.”

Ilham terenyuh mendengar perkataanya yang tulus. Bapak-bapak berusia 60 tahun yang bernama Pak Rahmad itu berbinar matanya saat ia memberinya semangkok bakso manakala ia tahu seharian itu belum ada satupaun pelanggan yang menwarkan jasanya. Ucapan doa bapak itu begitu tulus. Menyentuh hatinya yang lama beku.

Hatinya bergetar. Ternyata ada yang jauh lebih menderita dan sengsara di banding dirinya. Manakala Pak Rahmad menceritakan kisah hidupnya. Walau kini hanya memiliki satu kaki, dicampakkan oleh anak-anaknya yang durhaka dan tak mau merawat dirinya, meskipun beliau harus mencarikan nafkah dan biaya pengobatan untuk istrinya yang sakit-sakitan namun tak tersirat sedikitpun di wajah lelaki tua itu kesedihan atau penyesalan dan tak pernah mengeluh atas kehendak Tuhan yang harus dijalaninya. Meski menderita namun wajah bapak-bapak itu bak telaga yang sangat bening. Keikhlasan nampak jelas tergambar di kerut wajahnya yang menua. Sementara dirinya? Oh Tuhan pantaskah hamba ini disebut manusia? Batin Ilham menangis. Perasaan hina dan malu yang tak lagi bisa digambarkan dengan kata menyergap hatinya. Lubang di hatinya kian besar.
****
Hari-hari Ilham dilumuri getaran dosa besar. Penyangkalanya terhadap eksistensi Tuhan semakin terkikis dan berganti dengan cahaya hidayah yang perlahan menjemputnya. Waktu subuh yang berganti senja, dan senja yang tergulung waktu subuh telah melaksanakan titah Allah. Subuh dan senja yang saling menggulung itu menciptakan peredaran masa yang semakin renta. Sebuah karya nyata yang indah, keindahannya tak bisa digantikan oleh sebanyak apapun bait puisi atau syair indah dari kalangan manapun. Hafsah merasakan ada yang berjalan dalam hatinya. Ia merasakan getaran berbeda dihatinya. Ilham! Lirihnya. Dalam hatinya mengalun sebuah debaran perubahan Ilham. Ia yakin bahwa Ilham pasti akan kembali. Pasti! Yakinnya menatap cermin dirinya di kamar.

Sekian lama usaha dan do'a dilakukan. Sang ibu, Hafsah, juga para kerabat yang mengenal Ilham. Pamannya, sepupunya, juga yang lain. Ilham sepertinya kekurangan cinta. Ungkap Arbain, paman Ilham. “Kekurangan cinta? Maksudmu Ar?” Heran bu Nilam. Bukankah ia telah memberikan kasih sayangnya selama ini bahkan tanpa hilang sedetikpun. “Ya, Ilham kekurangan rasa cinta. Sejak kecil bukankah ayahnya sudah tak ada. Pasti Ilham tidak merasakan kasih sayang seorang ayah.” Papar Arbain. Bu Nilam menatap heran pada Arbain. Hanya satu cinta yang bisa menggantikannya. Yaitu cinta seorang isteri. Arbain menjelaskan. Mendengar itu, Hafsah segera mengambil keputusan. Ia ingin menikah dengan Ilham. Dengan harapan agar Ilham kembali kejalan Allah SWT. Tuhan seru sekalian alam. Sanak kerabatnya terkejut bukan main. Sebab mereka pun mengetahui bahwa Ilham sudah seperti seorang atheis meski tidak mengikrarkan ke-atheisannya, namun tindak tanduknya mengatakan ia atheis. Jelas saja banyak yang menentang niat Hafsah. Termasuk ayah dan ibunya. Iaberusaha meyakinkan seluruh sanak kerabatnya. Terutama ayah ibunya agar merestuinya untuk menikah dengan Ilham. Seminggu lebih ia mencoba meyakinkan ayah dan ibunya. Berkali ia ditentang. Sampai ia menangis tersedu-sedu di kamarnya. Isak yang menggetarkan. Tangis yang merengek betapa sedihnya. Ayah dan ibunya selalu mendengar tangisan anaknya itu. Lama-kelamaan mereka pun takkuasa membendung hati yang juga tersayat karena membuat anaknya merintih perih.

"Apakah kau sungguh-sungguh mencintainya anakku?" Lembut tanya sang ibu yang iba pada keadaan anaknya itu. Iamemeluknya hangat hafsahpun membalas erat pelukan ibunya. "Ya umi, Hafsah sangat mencintainya." Jawabnya tersedu-sedu. Sang ayah yang berdiri di muka pintu kamarHafsah yang terbuka itu pun jua meneteskan airmata. Tak kuasa melihat keperihan anaknya karena keinginannya menikah dengan Ilham tidak disetujui. Jika memang kau mencintainya dan ingin membawanya kembali pada jalan Allah yang diridhai. Kembali pada agama yang menjadi rahmatan lil'alamin ini. Maka, itu adalah perbuatan mulia. Maafkan kami. Ayah dan ibumu yang tidak memikirkanmu. Dan membuatmu seperti ini. Dirundung kepedihan mendalam. Hingga pesonamu yang selalu ayah lihat, memudar laksana tulisan kapur yang taktuntas dihapus. Jika itu tekadmu. Jika itu kemauanmu. Jika itu jalan yang ingin kau tempuh. Lakukanlah anakku! Lakukan apa yang baik untukmu. Ayah tahu kau adalah wanita shalihah yang mengetahui bagaimana kau akan menjalani hidupmu. Dengan caramu. Papar ayahnya yang jua terisak mendalam. Tatkala ucapan ayahnya terungkap. Hati Hafsah terasa seperti di tetesi embun yang sejuk. Menyejukkan rongga-rongga tubuhnya. Rasa bahagia tak terkira menggauli dirinya. Kecamuk yang meresahkan jiwanya telah hilang. Musnah. Sirna. Bersama persetujuan dan restu ayah ibunya.

Pernikahanpun dilaksanakan. Ada yang berbeda pada Ilham ketika akad nikah berlangsung. Sambut bahagia sanak saudara menjadi satu. Melimpah ruah. Meskipun banyak orang yang menatap sinis. Miris. Iba. Bahkan adapula yang menatap seolah membenci. Entah apa yang mereka rasakan dalam acara pernikahan itu. Yang jelas itu tidak membuat kebahagiaan dan keindahan suasana akad pernikahan memudar.

Firman Allah menitah masa bergulir dengan ketentuan-Nya. Enam bulan menjalani hidup bersama Ilham. Mengarungi bahtera. Menyongsong kebahagiaan terindah. Wajah Ilham berseri-seri. "Aku sangat mencintaimu Hafsah. Aku tak membayangkan sama-sekali bahwa aku akan menikah denganmu."Ucapnya mesra. "Aku pun begitu mas Ilham." Tutur Hafsah dengan senyum manisnya. Selama bersama Ilham. Hafsah terus berusaha agar ia kembali kejalan Allah. Namun usahanya agaknya belum berhasil namun ia tetap tak menyerah. Ia terus memberondong Ilham dengan ajakkan yang baik. Mengajaknya pada keridhaan Allah. Akhirnya dengan tutur bahasa lembutnya. Hafsah berhasil meluluh lantakkan hati Ilham yang telah terbentengi paham atheis. Ia mulai berfikir. Segala yang dilakukannya adaah satu kesalahan dan dosa besar. Disela kemesraan mereka, Hafsah menyelipkan bahasanya yang halus namun menuju pada niatnya menyadarkan kesalahan suaminya. Terkikislah sedikit-demi sedikit keras hati seorang Ilham. Hingga ketika ia mendengar ibunya bercerita tentang yang dipakukannya di lapangan tanah merah itu. Ilham menyadarinya bahwa ia telah MENDIKTE TUHAN.Apakah aku sudah gila!? Batinnya menyesal. Seketika itu Ilham pun mendapatkan hidayahnya. Iamengingat seluruh perbuatannya adalah kekejian yang takbisa dimaafkan. Tuhan yang memiliki hidup matinya. Dan segala yang ada pada dirinya. Bahkan seluruh dunia serta isinya. Ia dikte dengan caci makiyang sangat kejam. Apakah Allah memaafkan aku ibu!? Hikahiks hiks. Tanya Ilham terisak mengharu biru sambil mencium kaki ibunya. Hafsah merasakan perasaan suaminya. Dan mengalirlah air bening di sudut matanya. Ia menangis tertahan.

"Allah akan mengampunimu anakku. Bertaubatlah dengan sungguh." Ibunya menangkan. Ilham bersujud. Menangisi perbuatannya pada Tuhannya sendiri. Ia merasa menjadi orang terkeji. "Mungkin bandit-bandit bengis hanya mencaci manusia lainnya. Membunuh manusia. Juga merugikan manusia. Namun aku, aku mencaci Tuhan. Aku membunuh keberadaan Tuhan. Aku Merugikan diriku sendiri. Kefakiran membuatku terperosok dalam ke jurang kesesatan terburuk. Astagfirullah...!!! Tangis Ilham meledak di rusun itu. Hafsah merangkul suaminya yang tengah merasakan betapa kejinya dirinya. Langit gelap menjadi lukisan penyesalan Ilham. Sudut-sudut kumuh rusun itu. Terlihat jelas jika dari langit gelap itu. Ruang tetamu itu yang menjadi saksi bisu penyesalan Ilham.

Kefakiran yang buruk tanpa iman. Maka dekat dengan kekafiran. Kefakiran yang baik tanpa iman pun akan sama. Bukan hanya kefakiran namun kekayaan jua memiliki tahta serupa. Nabi Shollallaahu alaihi wa sallam bersabda, "Wahai Allah aku berlindung padamu dari fitnah (cobaan) buruknya kekayaan, dan fitnah (cobaan) buruknya kefaqiran" (HR. Shahih Muslim).

Jagalah iman dengan segenap jiwa raga. Sertakan Allah dalam hatimu. Sesungguhnya ''Qalbu Mukmin Baitullah'' Hatiorang-orang mukmin adalah rumah Allah.

***
Tamat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar