Translate

Selasa, 14 April 2015

Aku Merasa Nyaman Dengan Cadar


me!


Pakai cadar? Gimana ya rasanya?
Bismillah.. Terinspirasi dari artikel Hari Pertama Bercadar jadi ingin sedikit cerita soal pengalaman pertama memakai niqab/cadar. Plus sedikit latar belakang mengapa saya memilih untuk bercadar.
Menutup wajah atau bercadar adalah sebuah syariat yang sebagaimana hijab/jilbab sering disalah artikan sebagai bagian dari budaya Arab. Untuk lebih jelas mengenai syari’at tentang ini bisa dilihat di artikel Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal Aku Merasa Aneh Dengan Cadar .

Hukum mengenai cadar, para Ulama berselisih, ada yang mewajibkan dan ada yang cukup menghukuminya sebagai mustahab (dianjurkan) saja. Tapi disini saya tidak akan berpanjang lebar mengenai hukum dan perinciannya. I just wanna share my own experience. Or for short, my niqab story :)

Pertama kali berkenalan dengan kata cadar adalah sewaktu sekolah SMP dulu, ada seorang kawan Ummi yang memutuskan untuk menutup wajahnya, bahkan matanya pun ditutup. Belakangan saya baru tahu itu namanya burqa‘. Kemana-mana harus dituntun suaminya, karena ia tidak bisa melihat sekeliling. Jujur saja waktu itu saya takut melihat penampilannya, serba hitam dan wah, menyeramkan pikir saya.. Astaghfirullaah.
Waktu berlalu.. Di lingkungan tempat tinggal saya makin banyak saja akhawat yang bercadar. Umumnya mereka adalah pendatang, bukan penduduk asli daerah ini. Kemudian saya berkenalan dengan salah seorang dari mereka. Mbak Nay, begitu saya memanggilnya.

Pertama-tama saya agak takut juga, jangan-jangan beliau ini ada hubungannya dengan aliran yang menghalalkan pengeboman itu. Karena waktu itu sedang santer-santernya isu terorisme dan pengeboman. Tapi setelah mengenalnya lebih dekat, Mbak Nay bukan termasuk mereka yang mengatasnamakan pengeboman dengan jihad. Justru beliau mengutuk dan menjelaskan bahwa Islam yang benar bukanlah seperti itu.

Kamipun makin akrab, Mbak Nay sering main ke rumah begitu juga sebaliknya. Kami sering bertukar pikiran, terutama saya ya, karena status beliau yang istri seorang ustadz, sehingga bikin saya betah untuk nanya ini itu dan tentu saja, nitip pertanyaan ke ustadz :D

Dari beliau, saya mengenal sisi lain seorang wanita bercadar. Ia sama sekali tidak memandang saya yang waktu itu belum bercadar bahkan masih baru mengenal sunnah dengan tatapan meremehkan. Perilakunya santun dan menyenangkan.

Ternyata seorang wanita bercadar itu sama seperti kita juga lho… suka bercanda, lucu dan asyik diajak ngobrol. Jujur saja stigma yang melekat di kepala saya selama ini tentang wanita bercadar yang kaku, jutek, tidak ramah dan eksklusif, berubah seketika. Di sini saya benar-benar menyadari bahwa akhlak seorang mukmin itu juga merupakan bagian yang tak terpisahkan dari dakwah.

Setelah menikah, tak terpikirkan sekalipun oleh saya untuk menggunakan cadar. Suami juga tidak pernah menyuruh. Hanya kadang beliau bilang, ” Sepertinya kalau wajahnya ditutup jadi lebih cantik deh.. “ saya sih senyum-senyum saja.

Ya, saya belum siap. Saya meyakini cadar merupakan bagian dari syari’at. Saya menyadari bahwa cadar atau niqab adalah sebuah bentuk perlindungan Islam terhadap kaum kami, kaum wanita. Bukan sebagai bentuk penjajahan atas hak asasi. Banyak sekali kebaikan dari syari’at ini, saya tidak ragu akan itu.
Tapi apa boleh dikata jika memang saya belum siap? Saya tidak mau bercadar karena disuruh suami, karena ikut-ikutan teman atau mode. Ingat waktu film Ayat-Ayat Cinta sedang booming? Trend wanita bercadar.. banyak kita jumpai dimana-mana. Kemudian sekarang menghilang entah kemana. Tidak, saya ingin memakainya karena saya merasa sudah siap. Karena jika ikut-ikutan atau niatnya hanya karena manusia akan mudah bagi saya untuk melepasnya lagi.

Walaupun belum siap sepenuhnya, saya mulai mencicil dengan membuat cadar dari sisa-sisa perca jilbab. Akhirnya mulai terkumpul.. Satu, dua, tiga… tujuh. Alhamdulillah. Setelah istikharah dan memantapkan hati saya putuskan untuk mulai. Suami mendukung penuh, begitu juga dengan keluarga. Alhamdulillah keluarga besar saya tidak keberatan, karena mereka juga sudah mengenal sunnah.

Tak lupa saya meminta saran teman-teman yang sudah bercadar. Tips-tips penting soal cadar dan segala printilannya. Termasuk soal tips makan di kondangan atau tempat umum dengan cadar. Aha! Itu penting loh :P


Kemudian tibalah hari bersejarah itu (jeng jeng jeng..). Agak gak pede juga sih. New look, new me. Tapi, subhanallah. Apa yang saya rasakan saat itu jauh berbeda dengan apa yang saya bayangkan. Tidak ada panas, susah bergerak dan kekhawatiran-kekhawatiran lainnya. Yang terasa cuma satu : kedamaian.
Saya percaya ketika ada wanita yang mengatakan bahwa bercadar itu rasanya sangat damai. Sangat nyaman. Ya, karena saya sudah merasakannya. Ma syaa Allah.

Yang juga penting untuk dipersiapkan adalah masalah mental. Ya, sudah siapkah kita dipandang dengan tatapan aneh ketika berjalan di tengah keramaian? Apalagi kalau ke Mall, wuidih berasa artis deh, hehehe. Tapi itu semua soal kebiasaan aja sih kalau kata saya. Makin lama makin terbiasa kok.

Yang pakai baju irit bahan aja pede abizz, masa kita yang — in syaa Allah— berbusana sesuai perintah Allah kok minder? Selama kita meniatkannya untuk mencari wajah Allah dan keridhaan-Nya, maka in syaa Allah Ia akan menguatkan kita.

Dan alhamdulillah saya memang orangnya cuek, jadi walau ada berbagai reaksi atas kehadiran saya —terutama cadar ini— saya sih selow aja, santai. Selama tidak menjurus pada pelecehan sih oke-oke saja. Toh saya dulu juga seperti itu, memandang cadar dengan sebelah mata. Karena, memang ilmunya belum sampai kepada saya. Karena Allah belum membukakan hati saya akan indahnya syari’at ini.

Banyak yang mesti diperjuangkan untuk bercadar. Tapi pengorbanan itu… setara dengan kenikmatan yang didapatkan. Rasa nyaman karena tidak sembarang pria dapat melihat wajah kita. Rasa tenang dari gangguan lirikan nakal atau tatapan melecehkan. Rasa damai karena.. entah karena apa, sulit untuk dijelaskan.

Sungguh Maha Kuasa Allah, yang Maha Membolak-balikkan Hati. Dulu tak pernah terpikirkan sekalipun bagi saya untuk mengenakan cadar. Bahkan saya menganggap mereka yang bercadar itu agak lebay lho. ” Pake jilbab yang biasa-biasa aja deh.. “ kata saya waktu itu.

Astaghfirullah. Sungguh benar firman-Nya.. boleh jadi apa yang kamu benci itu justru baik untukmu. Jangan mencela mereka yang sudah dapat melaksanakan sunnah ini, jika kita belum sanggup.

“Sesungguhnya hati anak Adam semuanya ada di antara dua jemari dari jemari-jemari Allah seperti satu hati, Dialah yang mengaturnya sesuai dengan kehendak-Nya.” (Riwayat Muslim).

Alhamdulillah, saya cukupkan sampai di sini. Mudah-mudahan bermanfaat untuk saudari-saudariku yang ingin tahu lebih jauh tentang bagaimana sih rasanya memakai cadar, yang masih ragu untuk memulai dan yang menganggap bahwa cadar itu mengekang dan membelenggu wanita.

Tulisan ini saya buat bukan untuk berbangga diri karena telah mengenakan cadar, in syaa Allah bukan :)
Toh saya pribadi berpemahaman dan condong kepada pendapat ulama yang menyatakan bahwa cadar itu tidak wajib, sekadar sunnah saja. Tidak lantas yang bercadar sudah pasti lebih baik dari yang tidak. Hanya ketaqwaan masing-masing kita sajalah yang membedakan.

 Semoga Allah senantiasa menguatkan..  dalam keistiqomahan…
Aamiin. . .

^^ Pagi yang cerah di penghujung April 2015, secuil ide yang tiba-tiba muncul ketika sedang mencuci piring >_<

==> Sebuah Kisah Nyata, dari temanku nun jauh disana Ukhty Meutia Halida di Aceh..
Ana Uhibbuki Fillah Anti :)

Kisah ini sengaja saya tulis, untuk menginspirasi akhwat fillah. Agar bisa memakai Cadar juga seperti Meutia Halida juga ^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar