Translate

Minggu, 08 Maret 2015

Tunangan atau Lamaran??



Pernah lihat seorang wanita memakai cincin di jari manis tangannya? Pasti banyak yang bilang, ``Udah tunangan ya?`` dan mungkin jawaban seorang wanita tersebut adalah, ``Ya``, atau Cuma senyuman yang mungkin memberi arti ya, sudah tunangan atau bukan tunangan lagi, tapi sudah nikah, atau Cuma iseng biar dikira sudah tunangan. Sebenarnya bagaimana hukum tunangan? Bolehkah?
Yukk kitabaca bahasannya. Semoga bermanfaat.
Hukum Tunangan
Lazimnya, masyarakat mengetahui istilah tunangan adalah proses menuju gerbang pernikahan dengan cara “lamaran” dan tukar cincin. Jika seorang laki-laki melamar wanita agar wanita tersebut menjadi istrinya, hal tersebut sudah lumrah. Akan tetapi, jika disertai dengan tukar cincin maka perlu diketahui bahwa tradisi tukar cincin merupakaan kebiasaan yang tidak dikenal dalam syari`at Islam. Diantara alasannya adalah :
1.       Tradisi tukar cincin, pada asalnya merupakan warisan dari orang Nashrani. Merekalah yang pertama kali membuat tradisi ini. Ketika melakukan pernikahan, sang lelaki meletakkan cincin di jempol tangan kiri perempuan sambil mengatakan, “Dengan nama Tuhan Bapa,” lalu dipindah ke telunjuk sambil mengatakan, “Tuhan Anak,” lalu dipindah ke jari tengah sambil mengatakan, “Roh Kudus,” selanjutnya dipindah ke jari manis dan mengatakan, ``Amin.`` Kisah tradisi ini disebutkan Syaikh al-Albani dalam Adab az-Zifaaf.
Sementara itu, kaum muslimin dilarang mengikuti kebiasaan dan tradisi orang kafir. Nabi shallallahu `alayhi wa sallam bersabda, ``Barang siapa yang meniru kebiasaan suatu kaum maka dia adalah bagian dari kaum tersebut,`` (HR. Abu Daud, Baihaqi, dan Ibnu Abi Syaibah; dinilai shahih oleh al-Albani).
2.       Tradisi ini akan membuka pintu maksiat, yaitu banyaknya lelaki yang memakai cincin dari emas. Padahal, Rasulullah shallallahu `alayhi wa sallam secara tegas melarang hal ini. Diantara dalil yang menunujukkan hal tersebut adalah dari Ibnu Abbas, ``Suatu ketika Rasulullah shallallahu `alayhi wa sallam melihat cincin emas pada jari seorang sahabat. Kemudian beliau melepasnya dan membuangnya, sambil bersabda, `Kalian sengaja mengambil bara api neraka lalu kalian letakkan di tangan kalian?` Setelah Rasulullah shallallahu `alayhi wa sallam pergi, ada orang yang berkata kepada pemakai cincin tadi, `Ambil cincinmu dan manfaatkan untuk hal yang lain. `Sahabat ini mengatakan, `Tidak! Demi Allah, aku tidak akan mengambilnya selamanya karena Rasulullah shallallahu `alayhi wa sallam telah membuangnya`` (HR. Muslim dan Thabrani).

3.       Keyakinan yang keliru bahwa tukar cincin bisa melanggengkan hubungan suami-istri, sehingga masing-masing berusaha mempertahankan cincinnya agar jangan sampai hilang, sekalipun cincin tersebut masuk ke sumur maka harus diambil meskipun bias merenggut nyawa. Jika cincin ini sampai hilang diyakini hubungan keduanya dan bias mengancam keutuhan seterusnya, maka keadaannya semakin parah dan dosanya lebih besar.

Dengan menambahkan keyakinan seperti itu, berarti seseorang telah mengambil sebuah sebab yang pada asalnya bukanlah sebab. Tidak terdapat satu pun dalil yang menunjukkan bahwa tukar cincin bias menjadi sebab keutuhan. Ini tidak lain hanya sebatas mitos yang tersebar di masyarakat.
Khithbah
Dalam syari`at Islam, proses menuju gerbang pernikahan adalah dengan khithbah. Makna khithbah atau meminang adalah meminta seorang wanita untuk dinikahi dengan cara yang dikenal di tengah masyarakat. Tentu saja pinangan itu tidak semata-mata ditujukan kepada si gadis tanpa sepengetahuan ayahnya yang menjadi wali. Sebab pada hakikatnya, ketika berniat untuk menikahi seorang gadis, maka gadis itu tergantung dari ayahnya. Ayahnyalah yang menerima pinangan itu atau tidak, dan ayahnya pula yang nantinya akan menikahkan anak gadisnya itu dengan calon suaminya. Hak untuk menikahkan anak gadis memang terdapat pada ayahnya, sehingga tidak dibenarkan seorang gadis menerima ajakan menikah dari  siapapun tanpa sepengetahuan ayahnya.
Meminang adalah muqaddimah dari sebuah pernikahan. Sebuah tindakan yang telah disyari`atkan Allah Ta`ala sebelum dilakukan pengikatan akad nikah agar masing-masing pihak bisa saling mengenal. Dengan berbagai pertimbangan, Islam menganjurkan untuk merahasiakan peminangan dan hanya boleh dibicarakan dalam batas keluarga saja, tanpa mengibarkan bendera atau mengadakan upacara tabuhan genderang dan lain-lain dalam bentuk keramaian.
Dari Amir bin Abdilah bin az-Zubair dari ayahnya radhiyallahu `anhu bahwa Rasulullah shallallahu `alayhi wa sallam bersabda, ``Umumkanlah pernikahan,`` (HR. Ahmad).
Tentang Mahar
Mahar (orang Indonesia biasa menyebutnya mas kawin) yang diberikan pada pengantin wanita merupakan salah satu bentuk pemuliaan Islam kepada seorang wanita. Mahar adalah harta yang diberikan pihak calon suami kepada calon istrinya untuk dimiliki sebagai penghalal hubungan mereka. Mahar menjadi hak penuh sang istri yang harus ditunaikan oleh sang suami. Tidak halal bagi seorangpun baik ayahnya atau lainnya mengambil sebagian darinya kecuali si wanita ridha.
Apa benar mahar menjadi hak wanita? Bukankah menjadi hak orang tua (si wanita) karena seorang laki-laki akan ``memiliki`` anak wanitanya? Dahulu di zaman jahiliyah wanita tidak memiliki hak untuk dimiliki sehingga urusan mahar sangat bergantung kepada walinya. Walinya itulah yang kemudian menentukan mahar, menerimanya, dan juga membelanjakannya untuk dirinya sendiri. Sedang pengantin wanita tidak punya hak sedikitpun atas mahar itu dan tidak bias membelanjakannya.
Kemudian datanglah Islam menyelesaikan permasalahan ini dan melepaskan beban, serta mewajibkan untuk memberikan mahar kepada wanita. Islam menjadikan mahar sebagai hak wanita. Sesuai dengan firman Allah Ta`ala (artinya), ``Berikanlah mas kawin kepada wanita sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah pemberian itu yang sedap lagi baik akibatnya,`` (QS. An-Nisa : 4).
Ibnu Hazm rahimahullah dalam kitab al-Muhalla berkata, ``Tidak halal bagi orang tua wanita, kerabatnya, ataupun orang lain yang menguasai mahar wanita itu baik wanita itu masih kecil, dewasa, atau sudah janda. Bapak dan kerabat wanita itu juga tidak boleh menghadiahkan mahar itu kepada suaminya baik ketika dia masih menjadi istri atau telah bercerai. Begitu pula kepada orang lain. Seandainya mereka melakukan hal itu maka status hadiah tersebut tidak sah. Wanita itu berhak memberikan seluruh mahar atau sebagiannya kepada orang sesukanya. Orang tua dan suaminya tidak berhak menghalanginya. Hal ini berlaku jika wanita tersebut sudah baligh, berakal, dan wanita itu masih tetap kecukupan setelah memberikan mahar itu kepada orang lain. Kalau keadaannya tidak demikian maka tidak boleh wanita tersebut memberikan maharnya sesuka hatinya.``
Ukuran Mahar
Dari `Aisyah radhiyallahu `anha bahwa Rasulullah shallallahu `alayhi wa sallam bersabda, ``Nikah yang paling besar barakahnya itu adalah yang murah maharnya`` (HR. Ahmad).
Syari`at Islam tidak menetapkan batas minimal dan batas maksimal mahar. Akan tetapi, Islam mendorong agar memperingan mahar agar tidak terlalu tinggi, untuk mempermudah urusan pernikahan, sehingga generasi muda tidak enggan melaksanakan pernikahan karena demikian besar tanggungannya. Jika maharnya ringan maka hal itu lebih bermanfaat dan lebih berkah.
Mahar yang ringan lebih memotivasi pasangan suami-istri untuk berkomitmen dalam kasih sayang. Sebab jika laki-laki mengetahui bahwa untuk menjalin hubungan dengan wanita itu mudah, maka dia semakin mencintainya. Begitu indah dan mudahnya syari`at Islam, tidak seperti tradisi di beberapa daerah yang meminta mahar begitu besar ketika ingin menikahi seorang wanita.
Islam membolehkan mahar dalam bentuk cincin dari besi, sebutir kurma, jasa mengajarkan bacaan Al-Qur`an, atau yang sejenisnya. Yang penting kedua belah pihak ridha dan rela atas mahar itu. Ada beberapa kisah tentang pernikahan dengan contoh mahar yang berbeda-beda :
a.       Sepasang Sandal => Dari `Amir bin Rabi`ah bahwa seorang wanita dari Bani Fazarah menikah dengan mahar sepasang sandal. Lalu Rasulullah shallallahu `alayhi wa sallam bertanya, ``Relakah kau dinikahi jiwa dan hartamu dengan sepasang sandal ini?`` Dia menjawab, ``Rela.`` Maka Rasulllah pun membolehkannya (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).
b.      Hafalan Al-Qur`an => Dari Sahal bin Sa`ad bahwa Rasulullah shallallahu `alayhi wa sallam didatangi seorang wanita yang berkata, ``Ya Rasulullah, kuserahkan diriku untukmu.`` Wanita itu berdiri lama lalu berdirilah seorang laki-laki yang berkata, ``Ya Rasulullah, kawinkan dengan aku saja jika Anda tidak ingin menikahinya.`` Rasulullah berkata, “Punyakah engkau sesuatu untuk dijadikan mahar?” Dia berkata, ``Tidak kecuali hanya sarungku ini.`` Rasulullah menjawab, “Bila kau berikan sarungmu itu maka kau tidak akan punya sarung lagi. Carilah sesuatu!” Dia berkata, “Aku tidak mendapatkan sesuatupun.” Rasulullah bersabda, “Carilah walau cincin dari besi.!” Dia mencarinya lagi dan tidak juga mendapatkan apa-apa. Lalu Rasulullah bersabda lagi, “Apakah engkau menghafal Al-Qur’an?” Dia menjawab, “Ya, surat ini dan itu,” sambil menyebutkan surat yang dihafalnya. Bersabdalah Rasulullah, “Aku telah menikahkan kalian berdua dengan mahar hafalan Al-Qur’an,” (HR. Bukhari dan Muslim).
c.       Mahar Berupa Ke-Islamanan => Bahkan diriwayatkan bahwa ada seorang wanita rela tidak mendapatkan mahar dalam bentuk benda atau jasa yang bisa dimiliki. Cukup baginya suaminya yang tadinya masih non muslim itu untuk masuk Islam, lalu wanita itu rela dinikahi tanpa pemberian apa-apa. Atau dengan kata lain, keislaman si lelaki itu menjadi mahar untuknya.
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa Abu Thalhah meminang Ummu Sulaim, lalu Ummu Sulaim berkata, “Demi Allah, lelaki sepertimu tidak mungkin ditolak lamarannya, sayangnya  engkau kafir sedangkan saya muslimah. Tidak halal bagiku untuk menikah denganmu. Tapi kalau engkau masuk Islam, keislamanmu bias menjadi mahar untukku. Aku tidak akan menuntut lainnya.” Abu Thalhah mencari Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam agar dibimbing masuk Islam. Maka jadilah keislaman Abu Thalhah sebagai mahar dalam pernikahannya itu (HR. Nasa’i  6/114).
Semua hadits diatas menunjukkan bahwa boleh hukumnya mahar itu sesuatu yang murah atau dalam bentuk jasa yang bermanfaat. Ada pertanyaan seperti ini, apakah dianjurkan untuk segera menyerahkan mahar kepada mempelai wanita? Jawabannya adalah ‘tentu’ dianjurkan untuk membayarkan mahar dengan segera kepada wanita tersebut, berdasarkan firman Allah Ta’ala (artinya), “Tidaklah mengapa bagi kalian untuk menikahi mereka jika kalian membayarkan mahar kepada mereka,” (QS. Al-Mumtahanah : 10). Mahar dianggap sebagai hutang bagi laki-laki pada istrinya. Padahal hutang-hutang dan hak-hak lainnya harus segera dibayarkan.
Apakah boleh menunda dalam pembayarannya? Jawabannya adalah boleh. Berdasarkan firman Allah Ta’ala (artinya), “Tidak ada kewajiban membayar mahar atas kalian jika kalian menceraikan istri-istrimu sebelum kalian menggauli mereka dan sebelum kalian menentukan maharnya” (QS. Al-Baqarah : 236). Ayat tersebut memberikan pelajaran bahwa menunda pembayaran mahar setelah terjadi aqad nikah adalah hal yang diperbolehkan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmu’ fatawa, “Yang lebih utama jika memungkinkan adalah membayarkan semua mahar kepada wanita sebelum menggaulinya. Akan tetapi, diperbolehkan membayarkan sebagian mahar itu dan menunda pembayaran yang sebagiannya. 
Wallahu a’lam..
Referensi :
1.       Al-Wajiz: Ensiklopedia Fiqih Islam dalm al-Qur’an dan as-Sunnah ash-Shahihah karya ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi
2.       E-book nikah oleh H. Ahmad Sarwat, Lc
3.       Tanya Jawab Masalah Nikah dari A Sampai Z (terjemahan dari kitab Ahkam an-Nikah wa az-Zifaaf karya Syaikh Mustafa al-‘Adawi)
4.       www.konsultasisyariah.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar