Pernah lihat seorang wanita memakai cincin di jari manis tangannya? Pasti banyak yang bilang, ``Udah tunangan ya?`` dan mungkin jawaban seorang wanita tersebut adalah, ``Ya``, atau Cuma senyuman yang mungkin memberi arti ya, sudah tunangan atau bukan tunangan lagi, tapi sudah nikah, atau Cuma iseng biar dikira sudah tunangan. Sebenarnya bagaimana hukum tunangan? Bolehkah?
Yukk kitabaca bahasannya. Semoga bermanfaat.
Hukum Tunangan
Lazimnya, masyarakat mengetahui istilah tunangan adalah proses menuju gerbang pernikahan dengan cara “lamaran” dan tukar cincin.
Jika seorang laki-laki melamar wanita agar wanita tersebut menjadi istrinya,
hal tersebut sudah lumrah. Akan tetapi, jika disertai dengan tukar cincin maka
perlu diketahui bahwa tradisi tukar cincin merupakaan kebiasaan yang tidak
dikenal dalam syari`at Islam. Diantara alasannya adalah :
1.
Tradisi tukar cincin, pada asalnya
merupakan warisan dari orang Nashrani. Merekalah yang pertama
kali membuat tradisi ini. Ketika melakukan pernikahan, sang lelaki meletakkan
cincin di jempol tangan kiri perempuan sambil mengatakan, “Dengan nama Tuhan Bapa,” lalu dipindah ke telunjuk sambil
mengatakan, “Tuhan Anak,” lalu
dipindah ke jari tengah sambil mengatakan, “Roh
Kudus,” selanjutnya dipindah ke jari manis dan mengatakan, ``Amin.`` Kisah tradisi ini disebutkan
Syaikh al-Albani dalam Adab az-Zifaaf.
Sementara itu, kaum
muslimin dilarang mengikuti kebiasaan dan tradisi orang kafir. Nabi shallallahu `alayhi wa sallam bersabda,
``Barang siapa yang meniru kebiasaan
suatu kaum maka dia adalah bagian dari kaum tersebut,`` (HR. Abu Daud,
Baihaqi, dan Ibnu Abi Syaibah; dinilai shahih oleh al-Albani).
2.
Tradisi ini akan membuka
pintu maksiat, yaitu banyaknya lelaki yang memakai cincin dari emas. Padahal,
Rasulullah shallallahu `alayhi wa sallam
secara tegas melarang hal ini. Diantara dalil yang menunujukkan hal tersebut
adalah dari Ibnu Abbas, ``Suatu ketika Rasulullah shallallahu `alayhi wa sallam melihat cincin emas pada jari seorang
sahabat. Kemudian beliau melepasnya dan membuangnya, sambil bersabda, `Kalian
sengaja mengambil bara api neraka lalu kalian letakkan di tangan kalian?`
Setelah Rasulullah shallallahu `alayhi wa
sallam pergi, ada orang yang berkata kepada pemakai cincin tadi, `Ambil
cincinmu dan manfaatkan untuk hal yang lain. `Sahabat ini mengatakan, `Tidak!
Demi Allah, aku tidak akan mengambilnya selamanya karena Rasulullah shallallahu `alayhi wa sallam telah
membuangnya`` (HR. Muslim dan Thabrani).
3.
Keyakinan yang keliru
bahwa tukar cincin bisa melanggengkan hubungan suami-istri, sehingga
masing-masing berusaha mempertahankan cincinnya agar jangan sampai hilang,
sekalipun cincin tersebut masuk ke sumur maka harus diambil meskipun bias
merenggut nyawa. Jika cincin ini sampai hilang diyakini hubungan keduanya dan
bias mengancam keutuhan seterusnya, maka keadaannya semakin parah dan dosanya
lebih besar.
Dengan menambahkan
keyakinan seperti itu, berarti seseorang telah mengambil sebuah sebab yang pada
asalnya bukanlah sebab. Tidak terdapat
satu pun dalil yang menunjukkan bahwa tukar cincin bias menjadi sebab keutuhan.
Ini tidak lain hanya sebatas mitos yang tersebar di masyarakat.
Khithbah
Dalam syari`at
Islam, proses menuju gerbang pernikahan adalah dengan khithbah. Makna khithbah atau
meminang adalah meminta seorang wanita untuk dinikahi dengan cara yang dikenal
di tengah masyarakat. Tentu saja pinangan itu tidak semata-mata ditujukan
kepada si gadis tanpa sepengetahuan ayahnya yang menjadi wali. Sebab pada
hakikatnya, ketika berniat untuk menikahi seorang gadis, maka gadis itu
tergantung dari ayahnya. Ayahnyalah yang menerima pinangan itu atau tidak, dan
ayahnya pula yang nantinya akan menikahkan anak gadisnya itu dengan calon
suaminya. Hak untuk menikahkan anak gadis memang terdapat pada ayahnya,
sehingga tidak dibenarkan seorang gadis menerima ajakan menikah dari siapapun tanpa sepengetahuan ayahnya.
Meminang adalah
muqaddimah dari sebuah pernikahan. Sebuah tindakan yang telah disyari`atkan
Allah Ta`ala sebelum dilakukan pengikatan akad nikah agar masing-masing pihak
bisa saling mengenal. Dengan berbagai pertimbangan, Islam menganjurkan untuk
merahasiakan peminangan dan hanya boleh dibicarakan dalam batas keluarga saja,
tanpa mengibarkan bendera atau mengadakan upacara tabuhan genderang dan
lain-lain dalam bentuk keramaian.
Dari Amir bin
Abdilah bin az-Zubair dari ayahnya radhiyallahu `anhu bahwa Rasulullah shallallahu `alayhi wa sallam bersabda,
``Umumkanlah pernikahan,`` (HR. Ahmad).
Tentang Mahar
Mahar (orang
Indonesia biasa menyebutnya mas kawin) yang diberikan pada pengantin wanita
merupakan salah satu bentuk pemuliaan Islam kepada seorang wanita. Mahar adalah
harta yang diberikan pihak calon suami kepada calon istrinya untuk dimiliki
sebagai penghalal hubungan mereka. Mahar menjadi hak penuh sang istri yang
harus ditunaikan oleh sang suami. Tidak halal bagi seorangpun baik ayahnya atau
lainnya mengambil sebagian darinya kecuali si wanita ridha.
Apa benar mahar
menjadi hak wanita? Bukankah menjadi hak orang tua (si wanita) karena seorang
laki-laki akan ``memiliki`` anak wanitanya? Dahulu di zaman jahiliyah wanita
tidak memiliki hak untuk dimiliki sehingga urusan mahar sangat bergantung
kepada walinya. Walinya itulah yang kemudian menentukan mahar, menerimanya, dan
juga membelanjakannya untuk dirinya sendiri. Sedang pengantin wanita tidak
punya hak sedikitpun atas mahar itu dan tidak bias membelanjakannya.
Kemudian datanglah
Islam menyelesaikan permasalahan ini dan melepaskan beban, serta mewajibkan
untuk memberikan mahar kepada wanita. Islam menjadikan mahar sebagai hak
wanita. Sesuai dengan firman Allah Ta`ala
(artinya), ``Berikanlah mas kawin kepada
wanita sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka
makanlah pemberian itu yang sedap lagi baik akibatnya,`` (QS. An-Nisa : 4).
Ibnu Hazm rahimahullah dalam kitab al-Muhalla berkata, ``Tidak halal bagi
orang tua wanita, kerabatnya, ataupun orang lain yang menguasai mahar wanita
itu baik wanita itu masih kecil, dewasa, atau sudah janda. Bapak dan kerabat
wanita itu juga tidak boleh menghadiahkan mahar itu kepada suaminya baik ketika
dia masih menjadi istri atau telah bercerai. Begitu pula kepada orang lain.
Seandainya mereka melakukan hal itu maka status hadiah tersebut tidak sah.
Wanita itu berhak memberikan seluruh mahar atau sebagiannya kepada orang
sesukanya. Orang tua dan suaminya tidak berhak menghalanginya. Hal ini berlaku
jika wanita tersebut sudah baligh, berakal, dan wanita itu masih tetap
kecukupan setelah memberikan mahar itu kepada orang lain. Kalau keadaannya
tidak demikian maka tidak boleh wanita tersebut memberikan maharnya sesuka
hatinya.``
Ukuran Mahar
Dari `Aisyah radhiyallahu `anha bahwa Rasulullah shallallahu `alayhi wa sallam bersabda,
``Nikah yang paling besar barakahnya itu
adalah yang murah maharnya`` (HR. Ahmad).
Syari`at Islam
tidak menetapkan batas minimal dan batas maksimal mahar. Akan tetapi, Islam
mendorong agar memperingan mahar agar tidak terlalu tinggi, untuk mempermudah
urusan pernikahan, sehingga generasi muda tidak enggan melaksanakan pernikahan
karena demikian besar tanggungannya. Jika maharnya ringan maka hal itu lebih
bermanfaat dan lebih berkah.
Mahar yang ringan
lebih memotivasi pasangan suami-istri untuk berkomitmen dalam kasih sayang.
Sebab jika laki-laki mengetahui bahwa untuk menjalin hubungan dengan wanita itu
mudah, maka dia semakin mencintainya. Begitu indah dan mudahnya syari`at Islam,
tidak seperti tradisi di beberapa daerah yang meminta mahar begitu besar ketika
ingin menikahi seorang wanita.
Islam membolehkan
mahar dalam bentuk cincin dari besi, sebutir kurma, jasa mengajarkan bacaan
Al-Qur`an, atau yang sejenisnya. Yang penting kedua belah pihak ridha dan rela
atas mahar itu. Ada beberapa kisah tentang pernikahan dengan contoh mahar yang
berbeda-beda :
a. Sepasang Sandal => Dari `Amir bin Rabi`ah bahwa seorang wanita dari Bani Fazarah menikah dengan
mahar sepasang sandal. Lalu Rasulullah shallallahu
`alayhi wa sallam bertanya, ``Relakah kau dinikahi jiwa dan hartamu dengan
sepasang sandal ini?`` Dia menjawab, ``Rela.`` Maka Rasulllah pun
membolehkannya (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).
b.
Hafalan Al-Qur`an => Dari Sahal bin Sa`ad bahwa Rasulullah shallallahu
`alayhi wa sallam didatangi seorang wanita yang berkata, ``Ya Rasulullah,
kuserahkan diriku untukmu.`` Wanita itu berdiri lama lalu berdirilah seorang
laki-laki yang berkata, ``Ya Rasulullah, kawinkan dengan aku saja jika Anda
tidak ingin menikahinya.`` Rasulullah berkata, “Punyakah engkau sesuatu untuk
dijadikan mahar?” Dia berkata, ``Tidak kecuali hanya sarungku ini.`` Rasulullah
menjawab, “Bila kau berikan sarungmu itu maka kau tidak akan punya sarung lagi.
Carilah sesuatu!” Dia berkata, “Aku tidak mendapatkan sesuatupun.” Rasulullah
bersabda, “Carilah walau cincin dari besi.!” Dia mencarinya lagi dan tidak juga
mendapatkan apa-apa. Lalu Rasulullah bersabda lagi, “Apakah engkau menghafal
Al-Qur’an?” Dia menjawab, “Ya, surat ini dan itu,” sambil menyebutkan surat
yang dihafalnya. Bersabdalah Rasulullah, “Aku telah menikahkan kalian berdua
dengan mahar hafalan Al-Qur’an,” (HR. Bukhari dan Muslim).
c.
Mahar Berupa Ke-Islamanan => Bahkan diriwayatkan bahwa ada seorang wanita rela tidak mendapatkan mahar dalam
bentuk benda atau jasa yang bisa dimiliki. Cukup baginya suaminya yang tadinya
masih non muslim itu untuk masuk Islam, lalu wanita itu rela dinikahi tanpa
pemberian apa-apa. Atau dengan kata lain, keislaman si lelaki itu menjadi mahar
untuknya.
Dari Anas radhiyallahu
‘anhu bahwa Abu Thalhah meminang Ummu Sulaim, lalu Ummu Sulaim berkata,
“Demi Allah, lelaki sepertimu tidak mungkin ditolak lamarannya, sayangnya engkau kafir sedangkan saya muslimah. Tidak
halal bagiku untuk menikah denganmu. Tapi kalau engkau masuk Islam, keislamanmu
bias menjadi mahar untukku. Aku tidak akan menuntut lainnya.” Abu Thalhah
mencari Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa
sallam agar dibimbing masuk Islam. Maka jadilah keislaman Abu Thalhah
sebagai mahar dalam pernikahannya itu (HR. Nasa’i 6/114).
Semua hadits diatas menunjukkan bahwa boleh
hukumnya mahar itu sesuatu yang murah atau dalam bentuk jasa yang bermanfaat.
Ada pertanyaan seperti ini, apakah
dianjurkan untuk segera menyerahkan mahar kepada mempelai wanita?
Jawabannya adalah ‘tentu’ dianjurkan untuk membayarkan mahar dengan segera
kepada wanita tersebut, berdasarkan firman Allah Ta’ala (artinya), “Tidaklah
mengapa bagi kalian untuk menikahi mereka jika kalian membayarkan mahar kepada
mereka,” (QS. Al-Mumtahanah : 10). Mahar dianggap sebagai hutang bagi
laki-laki pada istrinya. Padahal hutang-hutang dan hak-hak lainnya harus segera
dibayarkan.
Apakah
boleh menunda dalam pembayarannya? Jawabannya adalah boleh. Berdasarkan
firman Allah Ta’ala (artinya), “Tidak ada kewajiban membayar mahar atas
kalian jika kalian menceraikan istri-istrimu sebelum kalian menggauli mereka
dan sebelum kalian menentukan maharnya” (QS. Al-Baqarah : 236). Ayat
tersebut memberikan pelajaran bahwa menunda pembayaran mahar setelah terjadi
aqad nikah adalah hal yang diperbolehkan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmu’ fatawa, “Yang lebih utama jika memungkinkan adalah
membayarkan semua mahar kepada wanita sebelum menggaulinya. Akan tetapi,
diperbolehkan membayarkan sebagian mahar itu dan menunda pembayaran yang
sebagiannya.
Wallahu
a’lam..
Referensi
:
1.
Al-Wajiz: Ensiklopedia Fiqih Islam dalm al-Qur’an dan as-Sunnah
ash-Shahihah karya ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi
2.
E-book nikah oleh H. Ahmad
Sarwat, Lc
3.
Tanya Jawab Masalah Nikah
dari A Sampai Z (terjemahan dari kitab Ahkam
an-Nikah wa az-Zifaaf karya Syaikh Mustafa al-‘Adawi)
4.
www.konsultasisyariah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar