Menghias perbuatan maksiat adalah pekerjaan setan. Sehingga perbuatan dosa bisa nampak indah, yang haram menjadi suram dan yang maksiat kelihatan memikat. Begitu pula dalam masalah jilbab dan busana takwa ini. Banyak syubhat dan keraguan yang bisa jadi sengaja dihembuskan untuk menghalangi para wanita muslimah memperindah penampilannya dengan busana takwa.
Tulisan ini akan mengupas tentang beberapa hal yang menimbulkan keraguan dan kebimbangan seputar jilbab, sekaligus menjawabnya insya Allah. Hal-hal tersebut antara lain :
Jilbab adalah budaya Arab
Ada sementara orang yang mengatakan bahwa jilbab adalah budaya dan tradisi pakaian wanita arab pada masa awal pertumbuhan Islam. Sekarang, setelah berlalu lebih dari 14 abad, budaya dan tradisi pun berubah. Cara orang berpakaian pun sudah tak seperti dulu. Karena jilbab adalah pakaian wanita arab saat itu, maka bukan saatnya lagi untuk dikenakan saat ini. Apalagi bagi orang yang tinggal di negara-negara non arab yang tentunya mempunyai budaya dan tradisi sendiri.
Dari sini paling tidak ada dua hal yang perlu dijawab. Pertama, benarkah jilbab adalah tradisi berpakaian wanita arab pada awal pertumbuhan Islam? Kedua, benarkah jilbab hanya khusus untuk wanita arab dan tak wajib bagi muslimah non arab untuk mengenakannya?
Imam Hakim meriwayatkan sebuah hadis yang menggambarkan saat-saat setelah turunnya ayat perintah menutup aurat, yaitu Surat An-nur ayat 31: “dan hendaklah mereka menutupkan khumur- jilbab- nya ke dada mereka….” Riwayat lain menerangkan: “Wanita-wanita (ketika turun ayat tersebut) segera mengambil kain sarung mereka, kemudian merobek sisinya dan memakainya sebagai jilbab.” (HR. Hakim).
Imam Bukhari juga meriwayatkan hal senada :
“Bahwasannya ‘Aisyah RA. Berkata: “Ketika turun ayat “dan hendaklah mereka menutupkan “khumur” -jilbab- nya ke dada mereka…” maka para wanita segera mengambil kain sarung, kemudian merobek sisinya dan memakainya sebagai jilbab.” (HR. Bukhari).
Kedua hadis ini menunjukkan kepada kita bahwa pada saat turunnya ayat tersebut para shohabiyyah (wanita dari kalangan sahabat) sedang tidak mengenakan “khumur” (jilbab) dan memang mereka belum biasa mengenakannya. Buktinya, saat itu mereka harus merobek kain sarung mereka untuk dialih-fungsikan menjadi jilbab. Jika mereka sudah biasa memakainya tentunya jilbab itu telah tersedia dan tak perlu lagi untuk menyulap kain sarung mereka menjadi jilbab “darurat.” Dari sini jelaslah bahwa jilbab bukanlah merupakan budaya dan tradisi wanita arab pada awal pertumbuhan Islam, tetapi suatu hal yang disyariatkan oleh Islam dan dilaksanakan oleh seluruh shohabiyyah. Hingga akhirnya pakaian tersebut mentradisi dan menjadi budaya Islam. Dengan ini, berarti pertanyaan pertama telah terjawab.
Sedang pertanyaan kedua, yakni apakah jilbab hanya untuk orang arab saja, maka ini terjawab dengan keuniversalan Islam. Islam adalah agama yang diperuntukkan bagi seluruh manusia, melampaui batas waktu dan geografi. Allah berfirman :
“Dan Kami tidak mengutus kamu melainkan kepada manusia seluruhnya, sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Qs. Saba’:28). Karena jilbab (busana penutup aurat) adalah bagian dari syariat Islam maka ia juga diperuntukkan bagi seluruh wanita muslimah di manapun ia berada hingga hari kiamat kelak.
Jilbab hanya wajib bagi istri-istri Rasulullah
Orang yang mengatakan bahwa jilbab (dikenal juga dengan sebutan hijab) hanyalah wajib bagi istri-istri Rasulullah berdalil dengan ayat 33 surat Al-Ahzab. Sebab konteks ayat tersebut ditujukan kepada mereka. Karenanya larangan untuk tabarruj dan kewajiban mengenakan jilbab hanyalah wajib bagi mereka saja.
Pernyataan ini terjawab dengan dua hal :
- Para ahli tafsir memberikan komentar atas ayat tersebut bahwa
meninggalkan tabarruj juga diperintahkan kepada seluruh wanita mukminah.
Imam Al-Jashshas berkata: “Semua hal yang tersebut dalam ayat ini
adalah petunjuk-petunjuk Allah bagi istri-istri rasulullah untuk menjaga
mereka, dan semua itu juga ditujukan bagi wanita-wanita mukminah.”
(lihat, Ahkamu Al-Qur’an karya Al-Jashshos). Imam Ibnu Katsir
berkomentar: “Ini adalah hal-hal yang diperintahkan Allah kepada
istri-istri Nabi, dan seluruh wanita mukminah dalam hal ini harus
mengikuti mereka.” (lihat, Tafsir Ibnu Katsir).
- Sebutlah misalnya bahwa, benar ayat surat Al-Ahzab: 33 tersebut khusus untuk istri-istri Rasulullah, namun ada ayat lain yang dengan jelas mengatakan bahwa kewajiban berjilbab itu diperuntukkan bagi seluruh wanita mukminah. Yaitu Firman Allah: “Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkkan khumur (Ind: jilbab) nya ke dadanya…” (Qs.An-nur: 31)
Sementara itu ada yang mengatakan bahwa jilbab hanyalah sebuah simbol. Sedang yang penting bagi seorang muslim adalah baiknya budi pekerti dan bersihnya hati. Dari pada berjilbab tapi kelakuannya berantakan, bukankah lebih baik tidak berjilbab tapi bertingkah laku baik.
Kelihatannya kata-kata ini baik, namun sebenarnya rancu. Sebab dalam diri seorang muslim hendaknya tertanam keyakinan bahwa apapun yang diperintahkan oleh Allah dan Rasulnya adalah baik dan seharusnya dilakukan. Baik itu simbol atau bukan. Tidaklah hanya karena suatu hal dianggap simbol lantas kita boleh meninggalkannya. Bahkan lebih dari itu, di sana ada hal-hal yang tak bisa dilogikakan namun kita tetap wajib melakukan. Misalkan wudlu karena keluar angin. Mengapa yang harus dibasuh adalah muka, tangan, kepala dan kaki. Bukankah yang lebih pantas untuk dibasuh adalah tempat keluarnya angin tersebut. Karena alasan ini pula sayyidina Umar RA. berujar tatkala mencium hajar aswad : “Sesunguhnya aku tahu kau hanyalah sebuah batu yang tak bisa mendatangkan faedah dan tidak pula menyebabkan bahaya, namun karena aku melihat Rasulullah menciummu maka aku menciummu.”
Sikap menerima seperti inilah yang diperintahkan Allah dalam firman-Nya :
“Tidaklah patut bagi seorang mukmin dan tidak pula bagi seorang mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, kemudian ia memilih yang lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya ia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (Qs. Al-Ahzab: 36).
Maka seorang muslim seharusnya memandang bahwa berjilbab juga termasuk akhlak dan perilaku yang baik. Sebab yang baik bagi seorang muslim adalah yang baik menurut Allah dan yang buruk adalah yang buruk menurut-Nya. Karenanya, menanggapi komentar di atas seharusnya seorang muslim berkata: “Lebih baik berjilbab dan mempunyai akhlak yang baik dari pada berperilaku baik tapi tidak berjilbab.” Atau: “Sayang sekali, perilakunya baik tapi kok tidak berjilbab.”
Siapakah Yang Memikul Tanggung Jawab Ini?
Permasalahan jilbab ini bukanlah hanya tanggung jawab para muslimah saja. Tapi setiap muslim ikut bertanggung jawab dalam hal ini. Setiap muslim berkewajiban untuk bersama-sama menciptakan situasi yang kondusif untuk pelaksanaan syariat Allah tersebut. Seorang ayah bertanggung jawab atas istri dan anak-anak putrinya. Seorang ibu bertanggung jawab atas dirinya dan anak-anak wanitanya. Dan setiap kita bertanggung jawab atas keluarga kita. Jika kita melalaikan tanggung jawab ini, secara sadar atau tidak kita telah menjerumuskan diri kita dan orang-orang yang kita cintai dalam jurang api neraka.
Rasulullah bersabda :
“Ada dua golongan penghuni neraka yang aku belum pernah melihatnya : Laki-laki yang tangan mereka menggenggam cambuk yang mirip ekor sapi untuk memukuli orang lain dan wanita-wanita yang berpakaian namun telanjang dan berlenggak lenggok. Kepalanya bergoyang-goyang bak punuk onta. Mereka itu tidak masuk surga dan tidak pula mencium baunya. Padahal sesungguhnya bau surga itu bisa tercium dari jarak sekian dan sekian.” (HR. Muslim).
Allah berfirman :
“Wahai orang-orang yang beriman, selamatkanlah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kejam dan keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya dan melaksanakan apa yang diperintahkan.” (Qs. Attahrim: 6).
Wallahu a’lam.
Sumber => ( Ustadz Ahmad ulil Amin ).
Al-Islam, Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar