Sekilas Mengenai Persitiwa Isra Mi’raj

الحمد لله ربِّ العالمين، والصلاةُ والسلامُ على المبعوثِ رحمةً للعالَمين؛ نبيِّنا محمّد، وعلىٰ آلِه وصحْبِه أجمعين، أمّا بعد


Imam Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah berkata :

أَخَذَ عَلَىٰ هٰذَا عَشْرَ سِنِينَ يَدْعُو إِلَى التَّوْحِيدِ، وَبَعْدَ الْعَشْرِ عُرِجَ بِهِ إِلَى السَّمَاءِ*، وَفُرِضَتْ عَلَيْهِ الصَّلَواتُ الْخَمْسُ**، وَصَلَّىٰ فِي مَكَّةَ ثَلاثَ سِنِينَ***

dengan itu beliau selama 10 tahun mendakwahkan tauhid. Dan setelah sepuluh tahun, beliau di mi’raj-kan ke langit*. Dan diwajibkanlah shalat 5 waktu**. Beliau shalat di Mekkah selama 10 tahun***

Syaikh Muhammad Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim rahimahullah menjelaskan :

* Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam di-isra-kan dengan jasad dan ruhnya bersamaan, dari Masjidil Haram dengan menaiki Al Buraq (الْبُرَاقِ) ke Baitul Maqdis, secara sadar bukan mimpi. Sebagaimana dikabarkan oleh Allah Ta’ala[1]. Kemudian beliau bersama Jibril naik ke langit dengan menaiki Al Mi’raj (الْمِعْرَاجِ). Al Mi’raj adalah sesuatu yang digunakan untuk naik yang biasanya digunakan untuk Malaikat naik ke langit. Setiap kali melewati langit, penghuni langit menemui beliau, sampai akhirnya beliau sampai di Sidratul Muntaha. Sampailah beliau pada tempat yang tinggi dimana Allah berada, kemudian beliau mendekat kepada-Nya dan Allah pun berfirman kepada beliau secara langsung tanpa perantara. Lalu Allah Ta’ala pun mewahyukan kepada beliau apa yang Allah ingin wahyukan.

** Dan perkara yang diwajibkan pertama kali ketika itu adalah shalat lima waktu. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam terus bolak-balik antara Allah dan Nabi Musa ‘alaihissalam hingga akhirnya ditetapkan hanya 5 raka’at saja.

هِيَ خَمْسٌ، وَهِيَ خَمْسُونَ

Shalat lima (waktu) itu dinilai lima puluh waktu (pahalanya)” [4]

الْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا

satu kebaikan ganjarannya dikali 10 yang semisalnya” [5]

Kemudian beliau kembali ke Baitul Maqdis bersama para Nabi yang lain. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengimami mereka di Baitul Maqdis, kemudian menaiki Al Buraq untuk kembali ke Mekkah. Lalu beliau menceritakan perjalanannya tersebut kepada penduduk Mekkah. Shalawatullah wa salamuhu ‘alaihi[6].

*** Maksudnya, setelah peristiwa Isra Mi’raj, shalat lima waktu diwajibkan 3 tahun sebelum Hijrah.

Sebagaimana yang nampak dalam riwayat Ibnu Ishaq :

أَنَّ الْإِسْرَاءَ قَبْلَ الْهِجْرَةِ بِثَلَاثِ سِنِينَ

Peristiwa Isra itu 3 tahun sebelum Hijrah

Sebagian riwayat lain mengatakan satu tahun sebelum Hijrah. Dalam riwayat lain, setengah tahun sebelum Hijrah. Dalam riwayat lain, lima tahun sebelum Hijrah. Wallahu a’lam.

(lihat Hasyiyah Tsalatasul Ushul hal 111-112)

Sya’ir


مُحَمَّدٌ الْمَبْعُوْثُ لِلْخَلْقِ رَحْمَةً * فَصَلِّ عليهِ مَا حَيِيْتَ مُسَلِّمَا
Muhammad diutus oleh Al Khaliq sebagai rahmat * maka bershalawatlah dan bersalamlah sebagai sambutan
وأَسْرَىٰ به نحْوَ السَّمَٰواتِ رَبُّه * وأرْكَبَهُ ظَهْرَ البُرَاقِ وأَكْرَمَا
Ia telah melakukan perjalanan menuju langit Rabb-Nya * menaiki punggung Al Buraq, melakukan hal mulia
وَقَدْ فُتحَتْ أبْوابُها لِصُعُودِه * فَمَا زَالَ يَرْقَىٰ مِن سَمَاءٍ إلىٰ سَمَا
Dan telah dibuka pintu langit karena ia datang * Ia terus menaiki langit demi langit
إلىٰ أنْ تَرَقَّىٰ موضعًا عَزَّ وضعُه * وما أحدٌ يستطيع أن يَتكلَّمَا
Sampai akhirnya tiba di tempat yang agung * tidak ada seorang pun yang mampu membicarakannya
وَلَاقىٰ بِهَا قَوْمًا مِن الرُّسْلِ كلُّهمْ * يقولُ له: يَا مَرْحَبًا حِيْنَ سَلَّمَا
Beliau juga bertemu dengan sejumlah Rasul * Para Rasul tadi berkata : “selamat datang” ketika mereka
memberi salam
وكَانَ بِهِ فَرْضُ الصَّلاةِ وحَبَّذَا * تَرَدُّدُهُ بَيْنَ الكَلِيْـــــمِ مُكَلِّمَا
Ketika itu juga diwajibkan dan diperintahkan shalat lima waktu * terus berubah jumlah rakaatnya antara ini dan itu
وَصَيَّرَهَا مِنْ بَعْدِ خَمْسِينَ خَمْسَةً * فُرُوْضًا وأمْرُ اللهِ قَدْ كَانَ مُبْرَمَا
Namun ditetapkan dari awalnya 50 menjadi 5 rakaat * sebagai kewajiban dari Allah dan tidak bisa diubah lagi
Catatan kaki dari Sukainah hafizhahallah :

[1] Allah Ta’ala berfirman :

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ﴾ (الإسراء: 1).

Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidilharam ke Al Masjidilaksa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS. Al-Isra : 1).

Al Hafidz Ibnu Katsir menyebutkan beberapa dalil bahwa peristiwa Isra itu dengan ruh dan badan sekaligus, beliau berkata : “dalil atas hal ini adalah firman Allah Azza Wa Jalla : ‘Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya‘, tasbih di sini karena adanya perkata yang agung, andaikan peristiwa ini terjadi dalam mimpi maka tentu bukan perkara besar dan tidak akan dianggap besar, orang-orang Quraisy pun tidak akan bersegera mendustakannya dan tidak akan murtad sebagian orang yang ketika itu sudah masuk Islam. Selain itu al ‘abdu (hamba) adalah istilah yang mencakup ruh dan jasad. Dan Allah Azza wa Jalla berfirman : ‘yang telah memperjalankan hamba-Nya‘. Dan Allah Ta’ala juga berfirman :

وَمَا جَعَلْنَا الرُّؤْيَا الَّتِي أَرَيْنَاكَ إِلا فِتْنَةً لِلنَّاسِ

Dan Kami tidak menjadikan penglihatan yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia” (QS. Al-Isra: 60).

Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhu berkata bahwa ‘penglihatan‘ dalam ayat ini adalah dengan mata. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melihatnya pada malam ia di-Isra-kan. Dan yang dimaksud dengan syajaratul mal’unah adalah pohon zaqqum (HR. Al Bukhari). Dan Allah Ta’ala berfirman :

مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغَىٰ

Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya‘ (QS. An-Najm: 17).

Dan al bashar (penglihatan) adalah unsur dari dzat bukan ruh. Selain itu juga, Rasulullah menaiki Buraq, yang Buraq itu adalah tunggangan yang cepat dan memiliki dua cahaya. Maka ini menunjukkan beliau pergi dengan badan bukan ruh. Karena jika ruh tentu tidak butuh kepada pergerakan dari Buraq agar bisa naik ke langit. Wallahu a’lam” (Tafsir Al Qur’an Al Azhim, 5/43-44).

[2] Al Mi’raaj atau Al Mi’raj artinya keselamatan atau alat untuk naik (Al Qamus Al Muhith)
[3] Allah Ta’ala berfirman dalam surat An-Najm :

﴿وَالنَّجْمِ إِذَا هَوَىٰ (1) مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَىٰ (2) وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ (3) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ (4) عَلَّمَهُ شَدِيدُ الْقُوَىٰ (5) ذُو مِرَّةٍ فَاسْتَوَىٰ (6) وَهُوَ بِالأُفُقِ الأَعْلَىٰ (7) ثُمَّ دَنَا فَتَدَلَّىٰ (8) فَكَانَ قَابَ قَوْسَيْنِ أَوْ أَدْنَىٰ (9) فَأَوْحَىٰ إِلَىٰ عَبْدِهِ مَا أَوْحَىٰ (10) مَا كَذَبَ الْفُؤَادُ مَا رَأَىٰ (11) أَفَتُمَارُونَهُ عَلَىٰ مَا يَرَىٰ (12) وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَىٰ (13) عِندَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهَىٰ (14) عِندَهَا جَنَّةُ الْمَأْوَىٰ (15) إِذْ يَغْشَى السِّدْرَةَ مَا يَغْشَىٰ (16) مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغَىٰ (17) لَقَدْ رَأَىٰ مِنْ آيَاتِ رَبِّهِ الْكُبْرَىٰ (18)﴾.

Demi bintang ketika terbenam, kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru, dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya), yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat, Yang mempunyai akal yang cerdas; dan (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli. sedang dia berada di ufuk yang tinggi. Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi, maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). Lalu dia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan. Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya. Maka apakah kamu (musyrikin Mekah) hendak membantahnya tentang apa yang telah dilihatnya? Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal, (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratilmuntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar” (QS. An-Najm: 1-18).

Dan terdapat dalam hadits Anas radhiallahu’anhu :

«.. ثُمَّ عَلَا بِهِ فَوْقَ ذٰلِكَ بِمَا لَا يَعْلَمُهُ إِلَّا اللهُ، حَتَّىٰ جَاءَ سِدْرَةَ الْمُنْتَهَىٰ، وَدَنَا لِلْجَبَّارِ رَبِّ العِزَّةِ، فَتَدَلَّىٰ حَتَّىٰ كَانَ مِنْهُ قَابَ قَوْسَيْنِ أَوْ أَدْنَىٰ، فَأَوْحَى اللهُ فِيمَا أَوْحَىٰ إِلَيْهِ: خَمْسِينَ صَلَاةً..» “صحيح البخاري” (349).

kemudian Jibril membawanya naik di atas kesemuanya yg tak satupun yg tahu selain Allah hingga tiba di Sidratul Muntaha. Kemudian Jibril mendekati Allah, Al Jabbar, Rabb pemilik kemuliaan, Nabi terus mendekat hingga jarak antara keduanya sebatas dua busur panah atau lebih dekat lagi, & Allah memberinya wahyu, yg di antara wahyunya, Allah mewajibkan lima puluh kali shalat untuk umatmu” (HR. Al Bukhari 349).

[4] HR Al Bukhari (349), Muslim (163)
[5] Dalam Shahih Al Bukhari (7517) :

فَكُلُّ حَسَنَةٍ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا، فَهِيَ خَمْسُونَ فِي أُمِّ الكِتَابِ، وَهِيَ خَمْسٌ عَلَيْكَ

setiap satu kebaikan dibalas sepuluh kali lipatnya, maka lima kali shalat itu tercatat lima puluh kali dalam ummul kitab, sekalipun hanya dilaksanakan lima kali olehmu

[6] Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, ia berkata : Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda :

«لَقَدْ رَأَيْتُنِي فِي الْحِجْرِ وَقُرَيْشٌ تَسْأَلُنِي عَنْ مَسْرَايَ، فَسَأَلَتْنِي عَنْ أَشْيَاءَ مِنْ بَيْتِ الْمَقْدِسِ لَمْ أُثْبِتْهَا! فَكُرِبْتُ كُرْبَةً مَا كُرِبْتُ مِثْلَهُ قَطُّ! قَالَ: فَرَفَعَهُ اللهُ لِي أَنْظُرُ إِلَيْهِ، مَا يَسْأَلُونِي عَنْ شَيْءٍ إِلَّا أَنْبَأْتُهُمْ بِهِ. وَقَدْ رَأَيْتُنِي فِي جَمَاعَةٍ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ، فَإِذَا مُوسَىٰ قَائِمٌ يُصَلِّي، فَإِذَا رَجُلٌ ضَرْبٌ جَعْدٌ كَأَنَّهُ مِنْ رِجَالِ شَنُوءَةَ، وَإِذَا عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ قَائِمٌ يُصَلِّي، أَقْرَبُ النَّاسِ بِهِ شَبَهًا عُرْوَةُ بْنُ مَسْعُودٍ الثَّقَفِيُّ، وَإِذَا إِبْرَاهِيمُ عَلَيْهِ السَّلَامُ قَائِمٌ يُصَلِّي، أَشْبَهُ النَّاسِ بِهِ صَاحِبُكُمْ -يَعْنِي نَفْسَهُ- فَحَانَتِ الصَّلَاةُ، فَأَمَمْتُهُمْ، فَلَمَّا فَرَغْتُ مِنَ الصَّلَاةِ قَالَ قَائِلٌ: يَا مُحَمَّدُ! هٰذَا مَالِكٌ صَاحِبُ النَّارِ، فَسَلِّمْ عَلَيْهِ، فَالْتَفَتُّ إِلَيْهِ فَبَدَأَنِي بِالسَّلَامِ» “صحيح مسلم” (172).

Aku telah melihat diriku sendiri dalam sebuah mimpi ketika di hijr, orang-orang quraisy bertanya kepadaku mengenai perjalanan malamku (pada waktu isra’ dan mi’raj, pent). Mereka menanyakan beberapa hal mengenai baitul maqdis yang belum aku ketahui dengan pasti sehingga aku pun merasakan kesusahan yang sama sekali belum pernah aku rasakan sebelumnya.” Beliau bersabda lagi: “Maka Alloh pun mengangkatnya untukku agar aku dapat melihatnya. Dan tidaklah mereka menanyakan kepadaku melainkan aku pasti akan menjawabnya. Aku telah melihat diriku bersama sekumpulan para Nabi. Dan tiba-tiba aku diperlihatkan Nabi Musa yang sedang berdiri melaksanakan sholat, ternyata dia adalah seorang lelaki yang kekar dan berambut keriting, seakan-akan orang bani Syanuah. Aku juga diperlihatkan Isa bin Maryam yang juga sedang berdiri melaksanakan sholat. Urwah bin Mas’ud Ats Tsaqafi adalah manusia yang paling mirip dengannya. Telah diperlihatkan pula kepadaku Nabi Ibrahim yang juga sedang berdiri melaksanakan sholat, orang yang paling mirip denganya adalah sahabat kalian ini; yakni diri beliau sendiri. Ketika waktu sholat telah masuk, akupun mengimami mereka semua. Dan seusai melaksanakan sholat, ada seseorang berkata, ‘Wahai Muhammad, ini adalah malaikat penjaga api neraka, berilah salam kepadanya! ‘ Maka akupun menoleh kepadanya, namun ia segera mendahuluiku memberi salam” (HR. Muslim no.172).

[7] Al ‘Allamah Al Amir As Shan’ani rahimahullah dalam Ad Diwan hal. 231 cetakan Penerbit Al Madini – Mesir, 1348H.


Penulis : Sukainah bintu Muhammad Nashiruddin Al Albani
Penerjemah : Yulian Purnama