Hari berbilang berganti bulan, bulan pun
berbilang berganti tahun, masih ingatkah kau saudariku 1 tahun yang lalu
saat kita masih berseragam putih abu-abu..?
Bersama kita susuri lorong-lorong sekolah dengan segenap semangat, senyum terkembang penuh simpati pada setiap orang…
Sapaan salam senantiasa terurai, jilbab
tebal lebar terkibar, dan sesekali kita senantiasa merapikan saat angin
bersegera menerpa tubuh kita, takut tersingkap lekuk tubuh yang memang
sedikit Nampak karena seragam mengharuskan berikat pinggang.
Cukup dinding-dinding kelas dan mushalla
menjadi saksi keteguhan kita dalam memperjuangkan jilbab syar’i bahkan
ketika peraturan saat itu siswa perempuan tidak boleh memakai jilbab
lebar itu dikarenakan sekolah kita sekolah SMA Negeri.
Tak mudah bagi kita memperjuangkannya saat itu.
Tak jarang kita berjalan dari ujung kelas
ke ujung kelas yang lain, bahkan dengan berurai air mata sekedar
menyatukan dan meyakinkan para jilbaber untuk setia dengan jilbab
menutup kepala. Meskipun orang lain banyak berbicara miring tentang
kita, kita tetap dalam tujuan semula tetap teguh dalam prinsip.
1 tahun bukan waktu yang sebentar memang,
sekarang kita memang tidak bersama tapi aku yakin prinsip kita yang
sama itu masih ada. Dan aku sangat yakin itu, aku sangat mengenal
sosokmu…
Kita jarang bertemu, tak lagi satu
halaqah dalam menuntut ilmu. Entah mengapa sekarang aku jarang melihat
jilbab tebal nan lebar itu. Sehingga tak ada lagi beda antara dirimu
dengan jilbaber gaul itu. Aku hanya bisa menerka sekiranya bertemu dan
bisa bertegur sapa. Tak berhak sedikit pun aku mengatur visi misi hidup
dirimu. Namun tak bisa membohongi diri ini, ada rasa sedih dan iba
apakah gerangan yang telah terjadi dengan saudari seimanku yang dulu
pernah duduk satu lingkaran untuk mengkaji ilmu?
Mungkin engkau akan berargumentasi toh
jilbabku bukan nilaiku..!. Duhai ukhti yang aku cintai karena Allah,
yang masih saja aku doakan dalam setiap doa rabithahku. Kembali dalam
kemuliaan nilai-nilai Islam itu pasti lebih utama dan menenangkan, tak
usahlah risau karena tak biasa di mata manusia, bukankah kita berharap
menjadi luar biasa di Mata Allah dengan amalan terbaik kita?
Entahlah dunia memang makin berubah dan
aku tak tahu apa yang telah mengubah pandanganmu itu, mungkin tuntutan
profesi, mungkin tuntutan mode, tuntutan ekonomi, atau tuntutan suami?
Padahal telah jelas dan gamblang bagaimana ketentuan jilbab syar’i itu, Allah sendiri yang berfirman dalam QS Al-Ahzab : 59 :
“Hai Nabi, katakanlah kepada
istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin:
‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. ‘yang
demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka
tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Dan juga dalam QS An Nuur 31 …”Dan hendaklah mereka menutupkan kain
kudung ke dadanya…”
Perintah Allah itu jelas dan tak pernah
berubah karena Al Quran itu sesuai dengan perkembangan zaman, meski
zaman banyak berubah karena teknologi yang begitu pesat, namun bukan
berarti kemudian Al Qur’an mengikuti zaman, tetapi zamanlah yang
mengikuti Al Quran.
Perintah Allah begitu jelas tak perlu
ditawar agar muslimah itu menutupkan kain kudung ke dada, dan tentunya
arti dada di sini tidak serta merta hanya bagian dada tetapi area
selingkaran dengan dada yaitu punggung lengan dan juga di bawahnya,
karena perbuatan demikian lebih menutup aurat dan menjaga kemuliaan.
Lantas dengan jilbab yang tipis itu, aku
juga semakin tak mengerti alasan apalagi, apakah karena di pasaran sudah
tak ada lagi yang menjual kain tebal yang lebih menutup aurat, atau
takut dikatakan jilbaber tapi tidak innovation, atau lagi-lagi masih
saja menggunakan dalil cuaca di bumi makin panas, dan takut kegerahan
dengan jilbab yang tebal. Padahal jika dinalar rumah yang kecil dengan
rumah yang besar tentu akan terasa panas ketika kita berada dalam rumah
yang kecil bukan? Ketika kita berjilbab masih merasa gerah mungkin ada
yang tidak beres dengan model jilbab kita, seperti model rumah tadi.
Mungkin terlalu ketat, atau ada ikatan-ikatan yang memang seharusnya tak
perlu kita pasang sehingga malah membuat gerah.
Tak ada yang salah dengan syari’at Islam,
kalaupun kita belum menemukan kebahagiaan dan ketenteraman sebagai umat
muslim, mungkin kita belum sampai dalam ilmunya. Dan seharusnyalah kita
menuntut ilmu Islam itu lebih keras lagi. Karena kita tahu Islam itu
syammil mutakamil, Islam itu sempurna dan menyeluruh. Seluruh aturan
hidup itu ada dalam Islam. Karena itu kita harus bahagia dan bangga
sebagai umat Islam. Bentuk kebanggaan kita salah satunya adalah tidak
malu menampakkan identitas kita sebagai muslimah. Tidak malu atau
setengah-setengah dalam mengimani perintah dan mengenakan jilbab syar’i.
Muslimah harus cerdas, begitu juga dalam
mengikuti perkembangan mode harus bisa menyiasati dan pandai memilah
saat membeli pakaian pun dalam berbisnis pakaian muslimah. Saudariku
bukankah telah sampai kepada kita kajian tentang syarat-syarat jilbab
syar’ i:
Menutup seluruh badan selain bagian yang dikecualikan (muka dan telapak tangan)
Tidak dijadikan perhiasan
Jilbab itu harus tebal tidak tipis
Jilbab harus longgar, tidak ketat
Tidak dibubuhi parfum atau minyak wangi
Tidak menyerupai pakaian laki-laki
Tidak menyerupai pakaian wanita-wanita kafir
Tidak berupa pakaian Syuhrah(sensasi) baik itu terlalu mewah karena
mahal ataupun terlalu murahan yang dipakai untuk menunjukkan sikap zuhud
dan dilakukan atas dasar riya’.
Tentu engkau masih ingat saudariku yang
aku cintai karena Allah, sebuah hadits yang meriwayatkan “Pada akhir
umatku nanti akan muncul para wanita yang berpakaian namun hakikatnya
telanjang. Di atas kepala mereka terdapat sesuatu seperti punuk unta.
Laknatlah mereka! Sesungguhnya mereka wanita-wanita terlaknat. Mereka
tidak akan masuk syurga dan tidak akan mencium aromanya, padahal aroma
syurga itu dapat tercium dari jarak perjalanan sekian dan sekian (HR
Thabrani, dalam al-Mu’jamus Shaghiir (hlm.232),
dari hadits ibnu ‘Amr, dengan sanad shahih). Dan juga kisah shahbiyyah
bersegera memenuhi perintah Allah tentang berpakaian yang sesuai
syari’at. Yaitu seperti wanita-wanita Anshar yang bersegera merobek
gorden rumah mereka untuk dijadikan jilbab ketika ayat tentang hijab
turun sehingga dikisahkan wanita-wanita Anshar keluar dan seakan-akan di
atas kepala mereka bertengger burung gagak hitam karena pakaian yang
mereka kenakan.
Saudariku masih ada lagi kisah yang
menakjubkan dari kalangan shahabiyyah yang seharusnya kita jadikan
teladan. Yaitu riwayat dari Ummu ‘Alqamah bin Abu ‘Alqamah, ia berkata:
“Aku melihat Hafshah binti ‘Abdurrahman bin Abu Bakar menemui ‘Aisyah.
Ketika itu, Hafshah sedang memakai khimar berbahan tipis sehingga
keningnya terlihat. ‘Aisyah lantas merobek khimar itu, seraya berkata:
“tahukah kamu apa yang Allah turunkan dalam surat An Nuur? Kemudian,
‘Aisyah minta diambilkan khimar (yang tebal), lalu ia memakaikannya
kepada Hafshah. (Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad (VIII/46), Ibnu Hibban
mencantumkannya dalam ats Tsiqaat (V/466)).
Saudariku aku berharap keprihatinan hati
ini cukup sampai di sini dan takkan aku temui lagi keadaan yang membuat
diri ini miris dan sedih. Saudariku memang seharusnyalah kita malu
kepada Allah, banyak nikmat yang Dia beri kepada kita. Nikmat sehat,
tubuh yang lengkap, dan segala kesempurnaan fisik sebagai perempuan,
serta banyak nikmat lain yang takkan pernah habis bila kita
menghitungnya. Namun kita sering malas bahkan mengulur waktu dan terus
mencari alas an untuk tidak menjalankan perintahNya. Bukankah bentuk
dari kesyukuran adalah ibadah dan menjalankan aturan Islam dengan
paripurna? Mungkin kita akan mengatakan toh kita ini berproses? Namun
proses harus mempunyai target yang jelas, karena kita tidak tahu sampai
kapan jatah hidup kita di dunia.
Saudariku, tentu kita takut ketika rasa
malu dalam diri kita dicabut karena apa dalam hadits
dikatakan:”Sesungguhnya Allah apabila hendak membinasakan seseorang,
maka dicabutnya rasa malu dari orang itu. Bila sifat malu sudah dicabut
darinya, maka ia akan mendapatinya dibenci orang, malah dianjurkan orang
benci padanya. Jika ia telah dibenci orang, dicabutlah sifat amanah
darinya. Jika sifat amanah telah dicabut darinya, kamu akan mendapatinya
sebagai seorang pengkhianat. Jika telah menjadi pengkhianat, dicabutnya
sifat kasih sayang. Jika telah hilang kasih sayangnya, maka jadilah ia
seorang yang terkutuk. Jika ia telah menjadi orang terkutuk maka
lepaslah tali Islam darinya.” (HR Ibnu Majah).
Istiqamah memang tak mudah apalagi tanpa
didukung oleh lingkungan, teman-teman dan orang-orang terdekat dari
kita. Namun bukan hal yang mustahil bagi kita untuk mengupayakan itu
semua. Dengan upaya terus memupuk keimanan kita, senantiasa menuntut
ilmu, dan bergaul dengan orang shalih dan shalihah. Yang tak kalah
penting adalah Berdoa pada Allah semoga kita senantiasa tetap komitmen
dalam jilbab yang syar’i.
Wallahu A’lam bishawwab